Aktualisasi Hukum Islam
AKTUALISASI
HUKUM ISLAM TERHADAP MASALAH-MASALAH KONTEMPORER
( Telaah Solusi
Permasalahan Ummat )
Oleh : Abd.
Wahed, M.HI.
Abstraksi : Keluwesan dan
kedinamisan hukum Islam harus diimbangi
kreatifitas yang tinggi para pemikir kaum muslimin supaya aktualisasi hukum
Islam dalam era modern ini berjalan semestinya sehingga hukum Islam mampu
menjadi pioner dalam mengarahkan kehidupan umat manusia khususnya kaum muslimin
menuju keridlaan Allah swt. Aktualisasi hukum Islam dalam era modern ini adalah
usaha menjadikan hukum Islam sebagai barometer aktifitas hukum dalam masyarakat Islam, khususnya masyarakat
Islam Indonesia. Aktualisasi ini dimaksudkan sebagai pencerahan dari
ketidakberdayaan system yang lain mengantarkan manusia kepada kesejahteraan.
Aktualisasi hukum Islam terhadap masalah-masalah kontemporer adalah rangkaian
kegiatan untuk meng’ekstrak’ unsur-unsur masalah kontemporer tersebut
kemudian dicarikan solusi supaya sesuai dengan ideal moral syari’ah
melalui metode-metode penetapan hukum yang telah ditetapkan oleh imam-imam
mazhab fiqh klasik. Terdapat dua bentuk usaha untuk aktualisasi hukum
Islam di dalam NKRI, pertama, menjadikan hukum Islam sebagai hukum
voluntir ( voluntary law ) yaitu pelaksanaan hukum Islam oleh individu
dan masyarakat dalam rangka civil society yang relatif independen
daripada pelaksanaa hukum Islam oleh negara. Kedua, formalisasi syariat
Islam menjadi hukum positif, sebagai jalan pintas. Kedua pola usaha ini yang
sebenarnya sudah berjalan di Indonesia, tanpa formalisasi Piagam Jakarta. Jadi,
walaupun terdapat dualisme pelaksanaan hukum di Indonesia, aktualisasi
hukum Islam tetap bisa diupayakan dan dilaksanakan sebagai bentuk tanggung
jawab moral cendikiawan kaum muslimin.
Kata Kunci : Aktualisasi, Hukum Islam, Masalah-Masalah Kontemporer
A.
Pendahuluan
Agama
Islam sebagai agama kaffah pada esensinya selalu sejalan dan selaras dengan
tuntutan zaman, sehingga ia selalu kapabel dan kredibel dalam segala waktu dan
medan. Akan tetapi pada prakteknya ajaran agama ini semakin hari semakin
ditinggalkan oleh umat manusia. Hal ini sebenanrnya adalah efek domino dari
keberadaan kaum muslimin yang cenderung tidak memahami ajaran agama Islam dengan
sebenar-benarnya. Sehingga mereka dengan mudahnya mengekor dan menerima apa
yang dianggap maju dan modern menurut pemikiran mereka sendiri. Jarang sekali
diantara kaum muslimin yang menoleh menenggok kembali ajaran agama tentang sesuatu
yang baru yang hendak mereka kerjakan.
Aktualisasi
ajaran Islam harus selalu diusahakan oleh para pemikir kaum muslimin guna
menjawab tantangan modernisasi dan globalisasi dan harus segera diformulasikan
dengan baku terutama mengenai hal-hal yang bersifat ijtihadiyah maliyah,
siyasiyyah, ijtimaiyah dan iqtishadiyah dimana hal-hal tersebut belum
ditemukan formulasinya yang baku dalam literature-literatur hazanah budaya dan
keilmuan Islam.
Aktualisasi
nilai-nilai ajaran Islam tersebut mutlak harus dilaksanakan walaupun tidak
dengan cara formalisasi ajaran Islam, walaupun berupa aktualisi ajaran Islam secara
substantive. Hal ini berangkat dari kesadaran bahwa paket system kehidupan
manusia yang paling sempurna adalah system kehidupan agama Islam. Sebagaimana
ditegaskan oleh Allah Swt. dalam al-qur’an surat al-Ruum : 30 sebagai berikut :
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pkön=tæ 4 w @Ïö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 Ï9ºs ÚúïÏe$!$# ÞOÍhs)ø9$# ÆÅ3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w tbqßJn=ôèt ÇÌÉÈ
30. Maka
hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui ( Q.S. Al-Ruum : 30 ) [1]
Fitrah
Allah: Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri
beragama yaitu agama tauhid. Agama tauhid yang dimaksudkan adalah agama Islam
sebagaimana firman Allah swt. :
¨bÎ) úïÏe$!$# yYÏã «!$# ÞO»n=óM}$# 3 $tBur y#n=tF÷z$# úïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# wÎ) .`ÏB Ï÷èt/ $tB ãNèduä!%y` ÞOù=Ïèø9$# $Jøót/ óOßgoY÷t/ 3 `tBur öàÿõ3t ÏM»t$t«Î/ «!$# cÎ*sù ©!$# ßìÎ| É>$|¡Ïtø:$# ÇÊÒÈ
19. Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah
Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah
datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara
mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah
sangat cepat hisab-Nya.)
Ali Imran : 19 )[2]
Begitu pula
dalam menyikapi hal-hal yang bersifat kontemporer, selayaknya apabila hukum Islam
dijadikan sebagai barometer boleh atau tidaknya, layak atau tidakya suatu
tindakan dan transaksi, baik masalah-masalah ekonomi seperti
transaksi-transaksi modern saat ini, sosial dan budaya seperti masalah gender
dan budaya-budaya lokal yang berkembang dan politik seperti syarat kecakapan
seorang pemimpin, politikus dan lain-lain. Dengan demikian maka multi krisis
yang dihadapi umat manusia dewasa ini akan cepat dicarikan solusi
permasalahannya. Akan tetapi masalahnya sekarang, jangankan hukum Islam dijadikan
barometer, dijadikan pembanding saja tidak. Malah umat Islam sendiri merasa
minder untuk menampilkan citra keislamannya. Merasa tidak afdol kalau
tidak mencantuntumkan label-label yang lain selain Islam. Bukankah hal demikian
menimbulkan paradox yang sangat kuat sekali.
Dalam masalah-masalah
perkembangan ekonomi dan masalah kehidupan dunia yang lain. Umat Islam sendiri
terjebak dalam pemahaman yang keliru tentang sebuah hadits yang mengatakan : “ kalian lebih
mengetahui tentang urusan dunia kalian”. Dengan hadits ini seakan-akan umat
Islam merasa “ legal ” kalau dirinya dimarginalkan oleh kelompok lain
terutama dalam sisi-sisi perkembangan kehidupan duniawi. Merasa legal untuk
meniru system ekonomi lain yang dianggap baik walaupun jelas-jelas tidak berpihak
pada kemajuan Islam dan kaum muslimin itu sendiri.
Untuk meluruskan
kesalahan pemahaman di atas, sebaiknya kita pahami betul apa yang disampaikan
oleh Dr. Yusuf Qordawi, sebagai berikut :
Adapun hadits
yang berbunyi : “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian “, adalah
hadits shahih[3]
. Hadits ini dikemukakan dalam kasus tertentu, yaitu dalam pencangkokan pohon
kurma dan bagaimana Rasulullah saw. mengemukakan pendapat yang sifatnya tekhis
pada suatu urusan duniawi yang beliau tidak mengetahuinya, karena beliau
tinggal di lembah yang tidak terdapat tumbuh-tumbuhan. Karena itu kita tidak
boleh melampaui batas hadits ini dan membatalkan semua nash al-Qur’an dan
hadits yang berkaitan dengan jual beli, pinjam meminjam, permainan harga dan
lain sebagainya, dengan satu hadits ini.[4]
Realita
sekarang, - berangkat dari kesalahan persepsi tesebut - umat Islam merasa bebas
mengadopsi cara-cara perekomian yang lain, atau membangun system ekonomi yang
didasarkan atas kemauan untuk mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya.
Padahal tidak demikian adanya, melaikan telah ada nash-nash al-Qur’an dan
hadits yang mengatur masalah-masalah yang dianggap kontemporer ini. Dan banyak
dijumpai teks-teks hasil istimbath para imam madzhab mengenai hal-hal
tersebut.
Jadi sebenarnya
akar permasalahnnya, adalah terletak pada; sejauh mana kemauan umat Islam itu
sendiri untuk mengaktualisasikan nilai-nilai luhur agamanya dalam segala lini
kehidupan ini, sehingga dengan demikian umat Islam menjadi pioneer dalam
percaturan peradaban kehidupan umat manusia. Atau malah menjadi pecundang,
dikarenakan malas dan tidak peka dalam menyikapi perkembangan zaman yang
cenderung berupa arus yang sangat keras ini. Apabila demikian, maka tidak salah
apabila maqalah yang mengatakan bahwa “ Islam tertutup kemajuannya oleh ulah
kaum muslimin sendiri ” akan semakin cepat dan semakin nyata membenamkan agama
yang hanif dan ya’lu wa la yu’la alaih ini dalam kawah
ketidakpastian dan kehancuran umatnya dan umat manusia secara keseluruhan. Akan
lebih jauh untuk menyaksikan cahaya Islam rahmatan lil alamin.
Tidak semua
nilai-nilai luhur agama Islam yang harus diaktualkan oleh kaum muslimin,
melainkan hanya sisi agama yang mengatur perilaku atau tatalaksana hidup, baik
intern sesame kaum muslimin dan ataupun tata laksana hidup antara kaum muslimin
dan non muslim. Pendeknya yang harus diaktulisasikan adalah sisi syrari’ah atau
hokum Islam saja, lebih-lebih dalam menyikapi masalah-masalah kontemporer pada
saat ini. Sedangkan masalah aqidah dan akhlaq, biarkanlah dengan
kemapanannya masing-masing sebagai modal utama dan perhiasan hidup bagi pemeluk
agama yang hanif ini.
Peran pemikir
dan cendikiawan muslim dalam aktualisasi hukum Islam dalam hal-hal yang
bersifat ijtihadi atau kontemporer adalah suatu keniscayaan yang sangat
ditunggu-tunggu demi izzul islam wal muslimin di zaman yang sudah akhir
ini.
B.
Maksud dan Tujuan Penelitian
Penulisan
makalah ini dimaksudkan untuk :
-
Memberikan pemahaman yang
sebenarnya bahwa syari’at Islam adalah satu-satunya norma yang selaras dengan fitrah
manusia, sehingga dengannya manusia menjadi tahu untuk apa dan mengapa ia
diciptakan.
-
Memberikan gambaran analisis hukum
Islam dalam menghadapi tantangan globalisasi dengan produk-produk
kontemporernya.
-
Memberikan arah dan tujuan
pemikir dan pelaku isu-isu kontemporer ke dalam bingkai hukum Islam.
-
Memberikan solusi pemecahan
masalah di tengah hancurnya system yang lain ( ekonomi, social, politik dan budaya )
Sedangkan tujuan
utama penulisan ini ialah :
-
Berusaha untuk menempatkan satu
persatu kasus-kasus yang bersifat kontemporer dengan secara tepat dan benar
dalam salah satu transaksi atau maksud dari sekian transaksi dan maqasid
dari syari’at Islam.
-
Memaparkan metode korelasi atau
kajian materi mengenai kasus-kasus kontemporer tersebut, sehingga diketahui
kedudukan hukumnya dengan jelas dalam hukum Islam.
-
Memberikan kesimpulan akhir
tentang suatu kasus yang bersifat kontemporer seharusnya berbentuk seperti apa
sehingga ia sesuai dengan syari’at Islam dan bisa dijadikan pijakan bagi
seluruh umat Islam.
C.
Tinjauan Tentang
Masalah-Masalah Kontemporer
Sebelum
membahas masalah kontemporer harus dijelaskan dulu batasan antara kontemporer
dan klasik. Dalam hal ini hukum Islam juga harus diberikan pemahaman yang sama
antara dikotomi klasik dan kontemporer. Dikarenakan hukum Islam dalam
menghadapi masalah-masalah yang mempunyai aspek-aspek modern terbagi dalam dua
termyn pemahaman yang berbeda, dimana keduanya memiliki interest yang berbeda
terhadap pemberdayaan hukum Islam.
Pemahaman
pertama bahwa hubungan hukum Islam dengan hal-hal yang bersifat modern yang
“datangnya” dari barat ini adalah berupa perkembangan asek-aspek modern
terhadap hukum Islam. Di sini, hubungan yang terjalin dalam wujud subordinasi.
Di mana posisi hukum Islam diletakkan pada posisi yang lemah dan tanpa daya
mengahadapi ‘gempuran’ nilai-nilai modern. Bahkan disisi yang lain, dengan
sangat congkak aspek-aspek kemodernan telah mengebiri bahkan memperkosa hukum Islam
untuk tunduk dan patuh dalam pengakuan nilai-nilai modern. Pada posisi ini terlihat
sekali bahwa hukum Islam sudah tidak independen lagi.
Pemahaman
kedua sedikit berbeda dengan yang pertama tadi dengan adanya pergeseran
struktur kata. Pergeseran kata ini membawa perubahan struktur kalimat menjadi perkembangan
hukum Islam di (era) modern. Pemahaman seperti menunjukkkan bahwa yang
menjadi kata kuncinya adalah aspek sejarah. Hal ini dikarenakan sejarah
tidak pernah berhenti, tetapi berputar dan berkembang bersama dengan
perkembangan waktu dan zaman. Yang dulunya satu, menjadi dua, atau yang dulunya
belum ada kemudian menjadi ada, dan seterusnya, itulah sejarah.
Begitu
pula yang terjadi pada hukum Islam. Hukum Islam sebagai proses sejarah memiliki
titik awal dan bergerak ke depan menembus batas ruang dan waktu, yang akhirnya
bertemu dengan satu era yang manusia sepakat menamainya dengan era modern, sedang
masalah-masalah kehidupan yang berkembang di dalamnya disebut dengan masalah-masalah
kontemporer.
Era
modern ini sebagaimana dikenal sekarang telah dikemukakan devinisi dan
ciri-cirinya oleh Jean Jaeques Rousseau ( 1712-1778 M.)[5],
yaitu dunia yang bersendikan atas ; (a) Negara-bangsa ( nation-state )
dalam system politik, (b) tekhnologi yang berdasarkan ilmu pengetahuan, (c) rasionalisme,
(d) penggandaan keuntungan, dan (e) sekulerisasi dan peremehan peran
agama.
Sedang
Harun Nasution membagi ciri pemikiran Islam ke dalam tiga zaman, yakni zaman
klasik ( abad ke 7-12 ) zaman ini disebut oleh beliau sebagai zaman rasional,
zaman pertengahan ( tradisional ) abad 13-18 dan modern (kontemporer)
abad ke 19 dan seterusnya. Berdasarkan kriteria di atas, fiqh klasik yang
dimaksudkan di sini ialah pola pemahaman fiqh abad 7-12, sedangkang fiqh
kontemporer adalah pola pemahaman fiqh abad 19 dan seterusnya.[6]
Jika
kita sepakat dengan pembagian yang dilakukan Harun Nasution berarti dalam
kajian perkembangan hukum Islam di era modern terbatas pada abad 19, di mana
wilayah kekuasaan Islam sudah tidak lagi menjadi satu-kesatuan utuh. Kekuasaan Islam
telah terpecah menjadi Negara bangsa ( nation-state ), dengan sudah
tidak lagi mengindahkan struktur satu komando. Jadi kita memiliki Negara Turki,
Mesir,Arab,India, Indonesia dan sebagainya, sebagai konskuensi dari berlakunya
konsep nation-state.
Perkembangan
hukum Islam di era modern diawali melalui persentuhan budaya barat (modern)
yang masuk ke dunia Islam, yang dipelopori oleh Napoleon sewaktu melakukan
perjalanan prestisiusnya ke Mesir. Dari sinilah titik awal persentuahn hukum Islam
dengan dunia Barat. Pada masa ini, hukum Islam sudah tidak lagi sebagai ‘pemain
tunggal” , tetapi telah mempunyai ‘teman main’ dalam fream hukum yang
dilahirkan oleh dunia Barat.
Begitu
pula yang terjadi di Indonesia sebagai bekas jajahan bangsa Barat selama kurang
lebih tiga setengah abad, adanya dualisme hukum adalah bagian dari suasana
masyarakat. Satu segi hukum Islam masih mepunyai akar dalam socio-cultur umat
Islam Indonesia, tetapi di sisi lain hukum Barat sengaja telah memasuki wilayah
yang sebenarnya menjadi kekuasaan bagi hukum Islam. Kita lihat Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia masih mewarisi dari H.I.R.
( Hirglande Indie Reglement ), R.Bg. (Reglement Burgelech) dan
B.W. ( Burgelech Weetbouch ) sebagai peninggalan penjajah Belanda.
Akhirnya, wilayah kekuasaan hukum Islam sedikit banyak mengalami keterasingan
di rumahnya sendiri.
Disebabkan
adanya dualisme dalam bidang hukum, maka pemberlakuan hukum Islam membutuhkan
praktek taqnin sebagai unsur bawaan dari Barat dan baru bagi dunia Islam.
Ide adanya taqnin ini mempunyai pengaruh yang signifikan pada metode istinbath
yang dipakai dalam menetapkan sebuah hukum. Pada masa sekarang ini istinbath
hukum dapat terjadi jika telah melalui proses taqnin. Hal ini yang
membedakan keadaan hukum pada zaman pertengahan yang dalam metode istinbath hukumnya
masih bisa mengakses langsung pada
al-Qur’an dan Hadits, dan tidak memerlukan proses taqnin.
Di
sisi lain, metode istinbath yang dipakai di era modern ini, lebih
mengutamakan kodifikasi hukum sebagai rujukan utama dalam menjawab permasalahan
yang timbul dari perkembangan masyarakat, daripada memamfaatkan lembaga-lembaga
fatwa yang ada. Sebagai contoh apa yang terjadi di Negara kita NKRI., dengan
adanya KHI. ( Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ) , UU. No. 1 Th. 74 dan UU.
No. 29 Th. 1989, sekuat apapun fatwa MUI., masih kalah jauh efektifnya dari
produk-produk taqnin tersebut.
Sehebat apapun keputusan Bahtsul Masail NU. dan Majlis Tarjih Muhammadiyah,
masih dipandang sebelah mata dalam prakteknya bahkan oleh umatnya sendiri.
Karena apa, karena keputusan-keputusan tersebut tidak mengikat secara formal,
melainkan hanya secara moral saja.
Ruang
lingkup kajian hukum Islam di era kontemporer di sini mencakup ;
masalah-masalah hukum Islam yang berhubungan dengan situasi kontemporer
(modern). Hal ini seperti dijelaskan oleh Muhammad Azhar dalam bukunya “Fiqh
Kontemporer dalam Pandangan Neomodernisme Islam” [7]
sebagai berikut ; kajian hukum Islam kontemporer tersebut dapat dikatagorikan
menjadi beberapa aspek, sebagai berikut :
1.
Aspek hukum keluarga, seperti
pembagian harta waris, akad nikah via telepon, perwakafan, nikah hamil, KB, dan
lain-lain.
2.
Aspek ekonomi, seperti system
bunga dalam bank, zakat mal, zakat profesi, perpajakan, kredit, arisan, multi
level marketing, asuransi dan lain-lain.
3.
Aspek pidana, seperti hukum potong
tangan, hukum pidana Islam, system hukum nasional, pemberlakuan syari’at Islam
di sebagian daerah dan hukum internasional.
4.
Aspek kewanitaan, seperti busana
muslimah, wanita karier, KDRT, kepemimpinan wanita dan lain-lain.
5.
Aspek medis, seperti pencangkokan
organ tubuh, pembedahan mayat, kontrasepsi mantap, euthanasia, cloning, bayi
tabung dan lain-lain.
6.
Aspek teknologi, seperti
menyembelih hewan secara mekanik, seruan adzan dengan kaset, makmum kepada TV. atau
radio, memberi salam dengan bel, al-Qur’an di HP. dan lain-lain.
7.
Aspek politik, seperti perdebatan
sekitar istilah negara bangsa ( nation-state ), proses pemilihan
pemimpin, politisi busuk, money politik, sumpah politik dan lain sebaginya.
8.
Aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan
ibadah, seperti tabungan haji, tayammum dengan selain debu, ibadah qurban
dengan uang hasil urunan, asuransi haji dan lain-lain.
Melihat
berbagai aspek di atas, memberikan pemahaman bahwa masalah hukum Islam
kontemporer sudah mencakup semua lini kehidupan manusia dan manusia tidak dapat
mengelak dari permasalahan tersebut, disebabkan masalah-masalah tersebut adalah
masalah kehidupan yang akan terus berkembang selaras dengan perkembangan
kehidupan manusia.
D.
Metodologi Hukum
Islam Terhadap Masalah Kontemporer.
Hukum Islam dan periode (era)
kontemporer adalah rangkain kata yang mengandung arti bahwa hukum Islam akan
selalu berada pada suatu masa kekinian dan sekarang. Kontemporer sendiri
dipahami sebagai suatu waktu yang sama, semasa, sewaktu, masa kini dan dewasa
ini.[8]
Oleh karenanya, jika rangkaian kata tersebut dikaitkan dengan problem ( masalah
) kontemporer berarti ada dua jenis, kelas, atau golongan aspek kehidupan yang
dirangkaikan dalam sebuah struktur
kalimat, yaitu hukum Islam dan masalah kontemporer. Dalam hal ini yang
menjadi acuan adalah bagaimana tanggapan dan metodologi hukum Islam dalam
memberikan jawaban terhadap masalah-masalah kontemporer ( kekinian ).
Kajian ini lebih dititiktekankan kepada
kondisi perkembangan dan metodologi hukum Islam kontemporer dalam skala lokal,
yaitu hukum Islam yang berjalan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
( NKRI ), atau dapat disebutkan sebagai Islam dan Keindonesiaan. Hal ini
dimaksudkan agar kajian ini lebih memberikan sentuhan terhadap budaya Indonesia
yang dalam beberapa hal mempunyai karakteristik yang berbeda dengan negara muslim
lainnya.
Untuk memahami fiqh kontemporer tidak
terlepas dari pemahaman fiqh klasik dalam artian metode memahami fiqh klasik
juga harus dipakai sebagai metode memahami fiqh kontemporer, karena pada
hakekatnya keduanya sama-sama fiqh, dan objeknya sama-sama perbuatan manusia.
Dalam artian bahwa memahami fiqh klasik dijadikan pijakan dalam pemahaman fiqh
kontemporer. Hal ini diperlukan agar terhindar daripada penafsiran suatu hukum
berdasar hawa nafsu.
Metode pemahaman fiqh versi imam-imam mujtahid
madzhab mutlak diperlukan dalam menganalisa permasalahan fiqh kontemporer
karena bagaimanapun mereka selalu berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Hadits.
Sedang indikasi dari al-Qur’an dan Hadits dalam penetapan hukum suatu peristiwa
berdasarkan keduanya sangat kuat sekali. Hal ini ditegaskan oleh ayat ke-59
surat al-Nisa’ sebagai berikut :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[9]
Kata “ sesuatu” atau “syay-in” pada
ayat tersebut telah mencakup semua yang mungkin terjadi sejak ayat ini
diturunkan sampai nanti kiamat terjadi. Jadi mengikuti koridor ini seharusnya
para pemikir muslim dalam analisa dan persepsinya seharusnya berangkat dari
kedua sumber al-Qur’an dan Hadits baru kemudian dikembangkan dengan metode
analisa yang lain.
Menurut H. Sulaiman Rasyid dalam bukunya Fiqh
Islam, pengambilan hukum fiqh baik yang klasik atau yang kontemporer
diambil dari : al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Dengan argument itu beliau
menyalahkan sangkaan orang yang mengatakan bahwa ilmu fiqh semata-mata pendapat
manusia ( alim ulama’ ) saja, karena sebenarnya fiqh itu diambil dan disusun
dari al-Qur’an, hadits,ijma’ dan qiyas. Qias pun harus berdasar al-Qur’an dan
Hadits, sebagaimana diketahui oleh tiap-tiap orang yang mempelajari ilmu ushul
fiqh.[10]
Dalam
memandang suatu fenomina hukum yang terjadi, para ahli hukum Islam telah
sepakat untuk menganalisa kasus-kasus hukum tersebut dengan metode yang telah
ditetapkan oleh al-Qur'an dan hadits, serta dengan menggunakan metode yang
telah mereka pakai sejak pertumbuhan ushul fiqh pada masa-masa abad pertama
kemajuan Islam. Metode-metode tersebut ada yang disepakati penggunaannya dan
ada yang masih dipertentangkan diantara mereka.
- Metode Qiyas.[11]
Qiyas adalah mentode analogi atau perbandingan.
Materi yang dibandingkan adalah illat hukum antara hukum asal dan
cabang.
Rukun qiyas adalah : Asal, cabang,
hukum asal dan 'illat hukum.
a.
Asal, adalah transaksi
atau kasus yang pernah terjadi pada masa Rasulullah saw. Dan kepadanya telah
ditetapkan hukumnya.
b.
Cabang, adalah praktek hal-hal yang bersifat kontemporer
dewasa ini.
c.
Hukum Asal adalah hukum
yang telah ditetapkan pada masa Rasulullah saw. Terhadap suatu kasus attau
transaksi, dan
d.
'illat hukum, adalah alasan atau
penyebab ditetapkannya hukum terhadap suatu peristiwa dulu pada masa Rasulullah
saw. Dan alasan ini juga yang terdapat dalam suatu kasus kontemporer.[12]
- Metode
Istihsan
Kesamaan illat
hukum antara asal dan cabang adalah titik tekan aplikasi
penetapan hukum dengan metode qiyas dan istihsan, perbedaannnya adalah bahwa
dalam qiyas, kesamaan illat itu sangat kuat sedangkan dalam istihsan persamaan
illat keduanya sangat tipis sekali sehingga harus berpaling dari qiyas jali
kepada qiyas khafi atau dari hukum kulli kepada hukum juz'iy.
- Metode
Istishhab
Istishhab dalam
artian sebagai metode kodifikasi hukum terhadap peristiwa (non I'tiqadi) yang
telah terdahulu untuk selalu ditetapkan sebagai hukum peristiwa tersebut
sebelum ada petunjuk yang menyatakan bahwa dalil peristiwa itu telah berubah.
- Metode
Istishlah ( Al Maslahah Al Mursalah )
Memperoleh
kemaslahatan dan menolak kerusakan pada manusia adalah tujuan pokok syari'at Islam.
Kedua hal inilah yang disebut sebagai ideal moral syari'ah, karena dengan
keduanya dapat terjaga intensitas agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Jadi bagaimanapun kedua
hukum syari'ah baik yang ta'abbudi atau ta'aqquli hanyalah
didasarkan pada kedua ideal moral di atas.
Dalam tataran aplikasi, yang harus
dikedepankan adalah menolak kerusakan daripada memperoleh kemaslahatan.
Dikatakan dalam suatu kaidah fiqh :
درء
المفاسد اولى من جلب المصالح[13]
"menolak
kerusakan lebih utama daripada memperoleh kemaslahatan".
Menolak kerusakan dan mendatangkan
kemaslahatan adalah dua hal yang telah menjadi ruh dari syari’at Islam
ini. Oleh karena itu banyak lagi metode
yang dipakai ulama’ dalam menganalisa suatu kasus sehingga ditemukan sisi
kebaikannya untuk kemaslahatan bagi umat manusia, seperti ‘urf, syar’u man
qablana dan madzhabus shahabi.
Kaitannya dengan metodologi Islam di
Indonesia, mengutip pernyataan Dawam Rahardjo sebagai berikut : “ sebenarnya
misi gerakan Islam untuk merealisasikan syariat dalam kehidupan individu,
keluarga , masyarakat dan negara masih terus bisa dilaksanakan”. Menurut beliau
ada dua pola realisasi hukum syariat tersebut di bumi Indonesia, yaitu : pertama,
melaksanakan hukum Islam sebagai hukum voluntir (voluntary law ), seperti
pernah dikemukakan oleh Syafruddin Prawiranegara, yaitu dilaksanakan oleh dan
dalam rangka civil society yang relative independen dari nagara. Kedua,
formalisasi hukum Islam menjadi hukum positif, sebagai suatu jalan pintas.
Kedua pola tersebut telah berjalan di Indonesia, tanpa formalisasi Piagam
Jakarta. [14]
E.
Analisa Hukum
Islam terhadap Masalah-Masalah Kontemporer
-
Metode analisa
Analisa
hukum Islam terhadap masalah kontemporer yang dimaksudkan di sini adalah :
Masalah komtemporer tersebut dianalisa dengan medtode analisa hukum fiqh dengan
tekhnik kajian isi atau materi unsure-unsur masalah kontemporer tersebut
sehingga bisa dianalogikan dengan salah satu transaksi atau kasus yang sudah
dikenal dalam syariat Islam.
Analisa
dengan tekhnik kajian isi atau unsur ini akan selalu bisa dilaksanakan
mengingat setiap kasus atau setiap transaksi dapat dipastikan mempunyai unsur
pelaku ( subjek ) dan pekerjaan ( predikat ) dan juga sasaran (
objek ). Ketiga hal inilah yang melatarbelakangi timbulnya ‘illat hukum
pada kasus atau transaksi tersebut. Maka dalam suatu kasus atau transaksi
tersebut sudah pasti dapat diketahui ‘illat atau alasan terhadap timbulnya
aspek hukum Islam (hukum taklifi) di dalamnya yang meliputi halal,
haram, boleh ( mubah ) makruh dan sunnat (mustahab ).
Kemudian
‘illat-‘illat hukum tersebut dianalisa kesesuainya dengan maqaasid syari’ah
hukum Islam. Dikaji mafsadat dan mamfaatnya kepada kehidupan umat Islam. Dengan
memakai metode-metode kajian-kajian hukum Islam klasik ( al-Qur’an, Hadits,
Ijma’ Qiyas, s/d al-Maslahah ) sehingga output dari analisa masalah
kontemporer tersebut benar atau mendekati kebenaran.
Dalam
kajian mengenai fiqh muamalah tidak jauh beda dengan kajian dalam fiqh
ibadah, walaupun hukum asal keduanya sangat jauh berbeda. Seperti
diketahui hukum asal fiqh ibadah adalah : segala sesuatunya dilarang
dikerjakan, sehingga ada dalil nash yang memperbolehkan. Sedangkan hukum
asal mu’amalah adalah : segala sesuatunya diperbolehkan, lecuali ada
dalil nash yang mencegahnya. Persamaan dalam menganalisa keduanya adalah ;
diantara kedua fiqh ibadah dan muamalah tersebut sama-sama mempunyai syarat dan
rukun. Nah, syarat dan rukun ini
yang dianalisa, apakah ia ( syarat dan rukun ) telah memenuhi syarat untuk
dihukumi sah atau boleh. Sehingga kepadanya bisa ditetapkan
kebolehannya, atau tidak memenuhi syarat, sehingga bisa ditetapkan sebagai
sesuatu yang tidak boleh.
Sebagai
illustrasi, dalam fiqh sholat, telah ditetapkan syarat dan rukunnya. 10 syarat
dan 17 rukun, dalam syarat dan rukun tersebut telah ada kriteria sah dan
tidaknya. Begitu pula dalam jual beli ( bay’ ), unsur-unsur penyusun
aqad atau transaksi tersebut bisa disebut dengan rukun atau arkan, dan
terhadap masing-masing arkan tersebut terdapat syarat yang harus dipenuhi
sehingga bay’ tersebut sah atau boleh. Rukun bay’ disini dapat disebutkan,
yaitu: 1. Penjual ( Baa’i’ ), 2. Pembeli ( Musytari ) dan 3. Barang yang
dijual (mabi’ ).4. Aqad/Transasksi/ijab-qabul. Diantara
syarat-syarat penjual dan pembeli adalah ; dengan kerelaan, tidak terpaksa,
bersifat boleh membelanjakan hartanya secara bebas, atas inisiatif sendiri,
dll. Diantara syarat barang dijual, bukan barang najis, bisa
diserahterimakan, barangnya bisa disaksikan kedua belah pihak dll. Diantara
syarat ijab qabul adalah : dengan kalimat serah-terima, telah
habis hak khiyarnya. Dalam satu majlis dll. [15]
Contoh
lain secara tekhnis akan dibicarakan pada bagian lain tulisan ini.
-
Sasaran analisa
Sasaran
analisa ini adalah masalah-masalah kontemporer sebagaimana dipaparkan dalam
klasifikasi di atas. Akan tetapi untuk mempersingkat dan membuat focus bahasan,
maka sasaran analisa pada tulisan ini hanya masalah Asuransi saja,
mengingat keterbatasan ruang dan waktu.. Sedangkan masalah yang lain masih
menunggu uluran tangan pemikir lainnnya untuk di ”ekstrak” dan kemudian dipilah
dan dipilih hal mana yang sesuai dengan hukum Islam dan tidak.
-
Tujuan analisa
Sebagaimana disebutkan di depan bahwa
tujuan analisa ini adalah memberikan gambaran atas solusi masalah kontemporer
ditinjau dari kacamata hukum Islam, dalam artian tekhnis bagaimana hukum Islam membedah
masalah-masalah kontemporer tersebut sehingga diketahui isinya, apakah ia
sesuai dengan anjuran syari’at atau tidak. Dan solusi bagaimana yang ditawarkan
sehingga masalah tersebut bisa diterima dalam hukum Islam.
Sebagai tujuan akhir ialah menempatkan
secara tepat dan benar posisi dan duduk permasalahan masalah kontemporer
tersebut dalam bingkai hukum Islam. Syukur-syukur apabila semua permasalahan
dapat dianalisa dan dibuat dalam bentuk skema dan tabel sehingga dapat
dimengerti dengan mudah oleh umat Islam.
F.
Suatu Kajian
Peristiwa
Secara
tekhnis aktualisasi dan analisa hukum Islam terhadap masalah kontemporer dapat
dirumuskan sebagai berikut :
a.
Devinisi permasalahan
b.
Kajian tentang unsur-unsurnya
c.
Komparasai dengan salah satu
kasus atau transaksi dalam hukum Islam
d.
Analisa kesamaan atau
ketidaksamaan unsure-unsurnya
e.
Kesimpulan yang mengarah kepada
salah satu hukum Islam taklifi.
Di
bawah ini contoh analisa dan aktualisasi hukum Islam dalam masalah asuransi,
sebagai berikut :
Devinisi :
Dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246 dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan asuransi atau pertanggungan adalah “suatu perjanjian
(timbal-balik), dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang
tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian
kepadanya, karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, yang mungkin akan dideritanya, karena suatu peristiwa tak tentu (onzeker
vooral)”.[16]
Asuransi
adalah transaksi suatu perjanjian dimana pihak yang menjamin berjanji kepada
pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah unag premi sebagai pengganti
kerugian yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin, karena akibat dari suatu
peristiwa yang belum jelas akan terjadi, peristiwa itu meliputi, kebakaran,
pencurian, kerusakan dan kematian.[17]
Dalam
ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa asuransi ( aqdud-ta’min )
adalah “ transaksi perjanjian antara dua pihak; pihak yang satu berkewajiban
membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya
kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai
dengan perjanjian yang dibuat”.[18]
Kajian
unsur-unsur Asuransi.
Unsure-unsur
asuransi menurut pasal 246 KUHD ( Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ) adalah :
1.
Pihak-pihak dalam perjanjian,
yakni Penanggung ( PT. Asuransi ) dan Tertanggung ( nasabah )
2.
Peralihan resiko dari tertanggung
kepada penanggung
3.
Objek pertanggungan, dapat berupa
benda, atau kepentingan yang melekat pada benda dan sejumlah uang.
4.
Peristiwa yang tak tertentu (onzeker
vooral)
5.
Ganti kerugian, yaitu sejumlah
uang yang jauh lebih besar daripada premi yang dibayarkan tertanggung kepada
penanggung.[19]
Komparasi
dengan salah satu transaksi dalam Hukum Islam.
Asuransi
sering diqiyaskan dengan kafalah atau takaful, yaitu tolong
menolong dan saling menjamin. Dan juga diqiyaskan kepada aqad mudlarabah atau bagi hasil, juga kepada tadlamun saling
menanggung.
Dalam
prinsip takaful ini semua peserta asusransi menjadi penolong dan
penjamin satu sama lain.. Misalnya X meninggal, maka Y,Z dan anggota lainnya harus
membantu. Syarikah Takaful bertindak sebagai al-Mudlarib penerima
pembayaran dari peserta takaful (
penerima polis asuransi ), diinvestasikan sesuai prinsip syari’ah,
sedangken shahibul maal adalah peserta takaful yang memperoleh mamfaat
jasa perlindungan.[20]
Analisa kesamaan atau ketidaksamaan
unsur-unsur asuransi dengan mu’amalah islam.
Dalam menganalisa unsur-unsur asuransi
ini harus disertakan pula rukun dan syarat kafalah atau takaful,
dlaman atau tadlamun dan syirkah muddlarabah.
Sebagai subjek dari ketiga transaksi
tersebut adalah : kafiiil atau kaafil, sama dengan dlamin, sama
dengan mudlarib. Adalah orang/badan yang menanggung, atau yang
memberikan jaminan pertanggungan. Dalam hal ini yang menduduki posisi subjek
ini adalah Perusahaan Asuransi. Untuk hal ini bisa dipastikan telah memenuhi
syarat dan dihukumi sah.
Berkedudukan sebagai subjek atau pelaku
juga adalah orang yang ditanggung (nasabah). Syaratnya adalah , merdeka,
berkehendak sendiri, dan bebas membelanjakan hartanya. Juga bisa dipastikan memenuhi syarat dan bisa
dihukumi sah. Kedua pihak PT. Asuransi dengan Nasabah tersebut dalam bahasa
fiqh disebut sebagai ‘Aqidaani.
Objek dari ketiga aqad tersebut adalah pertanggungan atau
jaminan yang diberikan oleh PT. Asuransi kepada nasabah. Dalam menyikapi
hal ini ulama’ berbeda pendapat karena hal yang ditanggung tersebut belum
bersifat pasti, artinya belum tertentu (onzeker vooral). Hal ini tidak
dijumpai dalam ketiga aqad tadi, baik dalam kafalah, dlaman ataupun mudlarabah.
Selanjutnya yang dikaji adalah
transasksi-transaski ( predikat ) yang mengkaburkan arti dari ketiga aqad tadi.
Apabila asuransi disamakan murni dengan kafalah, maka yang dijumpai
dalam kitab-kitab fiqh klasik hanya berupa pertanggungan hak yang berupa haqqul
adami yang ditanggung oleh penanggung yang akan dibayarkan kepada orang
yang mempunyai hak wajib bagi tertanggung.[21]
Apabila dianalogikan dengan syirkah
mudlarabah, maka pembagian hasil usaha kedua pihak tersebut harus diketahui
dengan jelas prosentasenya dan jangka waktu periodiknya. Sedangkan asuransi
tidak demikian, karena yang ditanggung oleh penanggung terhadap tertanggung
masih berupa peristiwa yang tidak tertentu, sehingga jumlahnya tidak dapat dipastikan.
Sedangkan uang yang harus dibayarkan oleh tertanggung kepada penanggung adalah
bersifat periodic, tetap dan dalam jumlah yang telah ditentukan sebelumnya.
Dengan model analisa seperti ini maka
dapat diketahui bahwa kata-kata kafalah, tadlamun dan mudlarabah hanya
dipakai atau ditiru secara bahasa saja, tanpa mengikutsertakan praktek-prakteknya ke dalam transaksi
asuransi.
Apalagi, apabila dikaitkan dengan
investasi premi-premi nasabah oleh pihak perusahaan asuransi, maka dewasa ini
sangat dikuatirkan bahwa premi-premi tersebut diinvestasikan dalam usaha-usaha
yang tidak bebas riba.
Oleh karena itu semua masih terdapat
perbedaan ulama’ dalam memutuskan hukum asuransi ini dalam bingkai hukum Islam.
Sebagaimana disebutkan setelah bagian ini.
Kesimpulan hukum asuransi.
Kalangan
Ulama’ berbeda pendapat dalam menyimpulkan hukum asuransi ini menjadi 4
( empat ) golongan pendapat, yaitu :
Pertama,
mengharamkan
.
( Sayyid Sabiq, Yusuf Qardawi, Abdullah Qalqilii ). Alasan mereka adalah :
-
Asuransi pada hakikatnya sama
dengan judi.
-
Mengandung unsure tidak
jelas/tidak pasti ( uncertainly )
-
Mengandung riba,
-
Terdapat unsure ekploitasi harta
orang lain dengan bathil, karena apabila pemegang polis tidak bisa melanjutkan
pembayaran premi, maka uang premi yang telah dibayar bisa hilang.
-
Premi-premi yang dibayarkan
nasabah diputar dalam praktik riba.
-
Asuransi termasuk aqad sharfi (
salah satu aqad ribawi ), yaitu : jual beli/ tukar menukar mata uang dengan
tidak tunai/yadan-biyadin.
-
Hidup mati seseorang dijadikan
objek bisnis, karena mendahuli taqdir.
Kedua,
membolehkan,
(Abdul
Wahab Khallaf, Musthafa Ahmad Zarqa ), alasannya :
-
Tidak ada nash yang melarang
asuransi
-
Ada kesepakatan antara 2 pihak
dan saling menguntungkan.
-
Termasuk aqad mudlarabah (
bagi hasil )
-
Termasuk koperasi ( syirkah
ta’awuniyah )
-
Diqiyaskan dengan system pensiun.
Ketiga,asuransi sosial
boleh, asuransi komersial haram. ( Moh. Abu Zahrah ), alasannya :
-
Melihat unsur dasar asuransi
sosial adalah ta’awuniyah ( tolong-menolong )
-
Asuransi sosial tidak
berorientasi hasil ( non profit oriented )
-
Asuransi komersial berorientasi
pada hasil semata.
Dari
berbagai alasan ulama’ di atas, penulis lebih berkesimpulan kepada mengharamkan
asuransi dengan melihat realita yang ada dimana asuransi konvensional seperti
yang dikenal di negara kita ini adalah lebih mendekati kepada alasan-alasan
kelompok ulama’ pertama.
Akan
tetapi demikian, jalan tengah yang penulis tawarkan untuk menyeleraskan dengan
jiwa syari’at Islam sehingga bisa dihukumi boleh/halal adalah sebagai
berikut :
-
Berbentuk asuransi sosial, bukan
komersial. Sehingga orientasinya adalah tolong-menolong bukan mencari
laba/hasil semata. Dengan demikian akan sesuai dengan prinsip kafalah dalam
syariat Islam.
-
Ada jaminan bahwa premi yang
dibayarkan nasabah tidak akan dan tidak boleh diputar dalam transaksi yang
mengandung unsur riba.
-
Ada transparansi antara
perusahaan asuransi dengan nasabah mengenai : jumlah kas dan saldo berjalan
perusahaan, laba yang dihasilkan dari peputaran premi dalam usaha yang halal
menurut syariat, biaya administrasi yang dibutuhkan termasuk gaji pegawai dan
uang jaminan yang telah diberikan kepada nasabah yang mendapat musibah.
-
Dengan demikian, aqad asuransi
juga memenuhi syarat sebagai aqad mudlarabah sekaligus syirkah
ta’awuniyah. Walapun ada perbedaan sedikit, yaitu : uang jaminan yang
diberikan perusahaan asuransi kepada nasabah tidak bisa disebutkan
sebagai bagi hasil karena uang tersebut tidak disebutkan dengan
prosentase yang jelas dan periodik waktu dalam polis asuransinya, melainkan
berupa hak yang diterimakan sebagi balas jasa kesediaannya membayar iuran/premi
ta’awuniyahnya.
G.
Penutup
Sebagai penutup
tulisan ini dapat disimpulkan bahwa masih terdapat jalan untuk mengaktualkan hukum
Islam dalam kehidupan umat manusia selama kaum muslimin sendiri mau berusaha
dan sportif mengusahakannya. Aktualisasi hukum Islam adalah upaya yang harus
diusahakan agar kehidupan umat manusia mendapat keridlaan Allah swt.
Aktualisasi
hokum Islam dalam tataran teoritis adalah usaha untuk menjadikan hukum Islam
sebagai hukum voluntir dari dan oleh masyarakat Iislam dalam rangka civil
society disamping mengushakan hukum Islam sebagai hukum positif yang masih
membutuhkan lembaga taqnin untuk
merealisasikannya.
Aktualisasi hukum
Islam dalam tataran praktek adalah memberdayakan hukum Islam dalam mengahadapi gempuran era modern dengan masalah-masalah
kontemporernya dengan menempatkan hukum Islam sebagai alat bedah untuk
mengekstrak masalah kontemporer tersebut sehingga diketahui celah dan
kemungkinan menjadikannya sesuai dengan ideal moral syari’at Islam. Pada
tahap selanjutnya diketahui kedudukan hukum yang sebenarnya menurut hukum Islam
sehingga dapat dijadikan pegangan oleh kaum muslimin.
DAFTAR
PUSTAKA
Abbadi
Moh., Idhah al Qawaid al Fiqhiyah,
Jeddah : AL Haramain, 1966.
Abdullah,
Taufiq dan Karim, M. Rusli.(editor ), Meodologi Penelitian Agama (Sebuah
Pengantar), Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1989.
Al-Husaini,
‘Alami Zadah Faidullah, Fathor Rahman li Thalibi Ayatail Qur’an, ttm.
Maktabah Dahlan Indonesia, tt.
Al-Husaini,
Abi Bakr Ibn Mohammad, Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayatil Ikhtishor, Semarang
: Toha Putra, tt.
Ali,
AM. Hasan. Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam ( Suatu Tinjauan Analisis
Historis, Teoritis dan Praktis ), Jakarta : Prenada Media, 2004.
Dahlan,
Abdul Aziz, dkk (editor), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru
van Hoeve, 1996.
Daud,
Ma’mur, Terjemah Hadits Shahih Muslim, Jakarta : Penerbit Wijaya Jakarta, 1996.
Hisan,
Dr. Husain Hamid, Asuransi Dalam Hukum Islam ( Tinjauan atas Riba, maisir
dan Gharar ), Jakarta : CV. Firdaus Jakarta, 1996.
http//www.google.com.
bidang pencarian : asuransi
Jurusan
Syari’ah STAIN Pmk., Al-Ihkam ( Jurnal Hukum dan Pranata Sosial) Vol. III No.2 Desember 2008, Pamekasan,
Jurusan Syari’ah STAIN Pmk., 2008.
Karim,
Adiwarman, Bank Islam ( Analisis Fiqh dan Keuangan ), Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2006.
Khollaf,
Abd. Wahab. Ilmu Ushul Fiqh, Kairo : Dar-al-Qalam, 1978.
LBM-PPM
Lirboyo Kediri, Masalaha-Masalah Agama ( Solusi dan Penalarannya ), Kediri
: LBM-PPM Lirboyo, 2004.
Praja,
Dr. Juhaya S. Filsafat Hukum Islam. Bandung : LPPM Universitas Islam
Bandung, 1995.
Purwosutjipto,
HMN., Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 6, Jakarta : Djambatan,
1986.
Qardhawi,
Dr. Yusuf. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam. Jakarta :
Rabbani Press, 1997.
Rasjid,
H. Sulaiman, Fiqh Islam ( Hukum Fiqh Lengkap ), Bandung : Sinar Baru
Algensindo, 1994.
Sumitro,
Warkum, Asas-Asas perbangkan Islam, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,
1997.
Syahatah,
Dr. Husain Husian, Asuransi dalam Persfektif Syari’ah, Jakarta : Amzah,
2006.
Tim
Penyusun Kamus, Pusat Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1996.
Yunus,
Prof.Dr. H.Mahmud. Tafsir Qur’an Karim. Jakarta : PT. Hidkarya Agung,
1984.
Zuhdi,
Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Jakarta, PT. Toko Gunung Agung. 1997.
Zuhri,
Drs. Mohammad (alih bahasa ), Tarjamah Tarikh Tasyri’ al-Islami, Semarang
: Darul Ihya’ Indonesia, 1980.
[1]
Q.S. Al-Ruum ; 30
[2]
Q.S. Ali Imran : 19
[3]
HR. Muslim dalam kitab Shahih-nya dari Siti ‘Aisyah dan Anas.
[4]
Dr. Yusuf Qardawi, Peran nilai dan moral dalam Perekonomian Islam,( Jakarta:
Rabbani Press, 1997),, hlm.12.
[5]
AM. Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam,( Jakarta: Prenada
Media, 2004). Hlm. 42.
[6]
I b I d.
[7] Muh.
Azhar, Fiqh Kontemporer dalam Pandangan Neomodernisme Islam, (
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 43.
[8]
Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1996), Cet, ke-7.
Hlm. 522.
[9]
Q.S. Al-Nisa’ : 59.
[10]
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo,
cet.ke-29, 1996). Hlm. 12.
[11]
Abd. Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,( Kairo: dar al-Qalam, 1978). Hlm.
52
[12]
ibid. H. 62.
[13]
Abbadi Moh., Idhah al Qawaid al Fiqhiyah ( Jeddah, AL Haramain,
1966),hlm. 44.
[14]
M.Dawam Rahardjo, Pengantar Buku Bank Islam, Analisis Fiqh dan Keuangan, Adiwarman.
A.Karim, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-3. Th.2006.), hlm.xvii.
[15] Abi
Bakr Ibn Muhammad al Husaini, Kifayatul Akhyar, (Semarang: Toha Putra,
tt. Juz I.), hlm. 239-241.
[16][16]
HMN.Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 6, (Jakarta :
Djambatan, 1986), hlm.1.
[17]
Masjfuk Zuhdi, masail Fiqhiyah, Jakarta, PT. Toko Gunung Agung. 1997.
Hlm. 132.
[18]
Abdul Aziz Dahlan, dkk (editor), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hlm. 138
[19]
http//www.google.com. bidang pencarian : asuransi
[20] Warkum
Sumitro, Asas-Asas perbangkan Islam,( Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,
1997.), Hlm. 169
[21]
Abi Bakr Ibn Muhammad al Husaini, Kifayatul Akhyar, hal. 279-280.
[22]
Masjfuk Zuhdi. Hal.134-135.
1 Komentar:
assalamualaikum ust ini saya nuril wilda al aluf semester PAI A, begini saya mau nanya alamat email antum soalnya saya m nyetor tugas yg uts take home punya sayavtelatvnyetor karna saya gak hadir di karenakan sakit . 'ala ihtimamikum aqulu lakum syukron jazilan
5 Desember 2015 pukul 15.44
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda