Bagian ini berisi hasil-hasil ijtihad mengenai apa yang saya ketahui dan saya tuliskan. semuanya menerima kritik dan saran perbaikan.

Senin, 02 Juni 2014

Aktualisasi Hukum Islam

AKTUALISASI HUKUM ISLAM TERHADAP MASALAH-MASALAH KONTEMPORER
( Telaah Solusi Permasalahan Ummat )
Oleh : Abd. Wahed, M.HI.
Abstraksi : Keluwesan dan kedinamisan  hukum Islam harus diimbangi kreatifitas yang tinggi para pemikir kaum muslimin supaya aktualisasi hukum Islam dalam era modern ini berjalan semestinya sehingga hukum Islam mampu menjadi pioner dalam mengarahkan kehidupan umat manusia khususnya kaum muslimin menuju keridlaan Allah swt. Aktualisasi hukum Islam dalam era modern ini adalah usaha menjadikan hukum Islam sebagai barometer aktifitas hukum  dalam masyarakat Islam, khususnya masyarakat Islam Indonesia. Aktualisasi ini dimaksudkan sebagai pencerahan dari ketidakberdayaan system yang lain mengantarkan manusia kepada kesejahteraan. Aktualisasi hukum Islam terhadap masalah-masalah kontemporer adalah rangkaian kegiatan untuk meng’ekstrak’ unsur-unsur masalah kontemporer tersebut kemudian dicarikan solusi supaya sesuai dengan ideal moral syari’ah melalui metode-metode penetapan hukum yang telah ditetapkan oleh imam-imam mazhab fiqh klasik. Terdapat dua bentuk usaha untuk aktualisasi hukum Islam di dalam NKRI, pertama, menjadikan hukum Islam sebagai hukum voluntir ( voluntary law ) yaitu pelaksanaan hukum Islam oleh individu dan masyarakat dalam rangka civil society yang relatif independen daripada pelaksanaa hukum Islam oleh negara. Kedua, formalisasi syariat Islam menjadi hukum positif, sebagai jalan pintas. Kedua pola usaha ini yang sebenarnya sudah berjalan di Indonesia, tanpa formalisasi Piagam Jakarta. Jadi, walaupun terdapat dualisme pelaksanaan hukum di Indonesia, aktualisasi hukum Islam tetap bisa diupayakan dan dilaksanakan sebagai bentuk tanggung jawab moral cendikiawan kaum muslimin.
Kata Kunci :  Aktualisasi, Hukum Islam, Masalah-Masalah Kontemporer

A.    Pendahuluan
Agama Islam sebagai agama kaffah pada esensinya selalu sejalan dan selaras dengan tuntutan zaman, sehingga ia selalu kapabel dan kredibel dalam segala waktu dan medan. Akan tetapi pada prakteknya ajaran agama ini semakin hari semakin ditinggalkan oleh umat manusia. Hal ini sebenanrnya adalah efek domino dari keberadaan kaum muslimin yang cenderung tidak memahami ajaran agama Islam dengan sebenar-benarnya. Sehingga mereka dengan mudahnya mengekor dan menerima apa yang dianggap maju dan modern menurut pemikiran mereka sendiri. Jarang sekali diantara kaum muslimin yang menoleh menenggok kembali ajaran agama tentang sesuatu yang baru yang hendak mereka kerjakan.
Aktualisasi ajaran Islam harus selalu diusahakan oleh para pemikir kaum muslimin guna menjawab tantangan modernisasi dan globalisasi dan harus segera diformulasikan dengan baku terutama mengenai hal-hal yang bersifat ijtihadiyah maliyah, siyasiyyah, ijtimaiyah dan iqtishadiyah dimana hal-hal tersebut belum ditemukan formulasinya yang baku dalam literature-literatur hazanah budaya dan keilmuan Islam.
Aktualisasi nilai-nilai ajaran Islam tersebut mutlak harus dilaksanakan walaupun tidak dengan cara formalisasi ajaran Islam, walaupun berupa aktualisi ajaran Islam secara substantive. Hal ini berangkat dari kesadaran bahwa paket system kehidupan manusia yang paling sempurna adalah system kehidupan agama Islam. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah Swt. dalam al-qur’an surat al-Ruum : 30 sebagai berikut :
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $Zÿ‹ÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏ‰ö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ  
30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui ( Q.S. Al-Ruum : 30 ) [1]
Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Agama tauhid yang dimaksudkan adalah agama Islam sebagaimana firman Allah swt. :
¨bÎ) šúïÏe$!$# y‰YÏã «!$# ÞO»n=ó™M}$# 3 $tBur y#n=tF÷z$# šúïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# žwÎ) .`ÏB ω÷èt/ $tB ãNèduä!%y` ÞOù=Ïèø9$# $J‹øót/ óOßgoY÷t/ 3 `tBur öàÿõ3tƒ ÏM»tƒ$t«Î/ «!$#  cÎ*sù ©!$# ßìƒÎŽ|  É>$|¡Ïtø:$# ÇÊÒÈ  
19. Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.) Ali Imran : 19 )[2]
Begitu pula dalam menyikapi hal-hal yang bersifat kontemporer, selayaknya apabila hukum Islam dijadikan sebagai barometer boleh atau tidaknya, layak atau tidakya suatu tindakan dan transaksi, baik masalah-masalah ekonomi seperti transaksi-transaksi modern saat ini, sosial dan budaya seperti masalah gender dan budaya-budaya lokal yang berkembang dan politik seperti syarat kecakapan seorang pemimpin, politikus dan lain-lain. Dengan demikian maka multi krisis yang dihadapi umat manusia dewasa ini akan cepat dicarikan solusi permasalahannya. Akan tetapi masalahnya sekarang, jangankan hukum Islam dijadikan barometer, dijadikan pembanding saja tidak. Malah umat Islam sendiri merasa minder untuk menampilkan citra keislamannya. Merasa tidak afdol kalau tidak mencantuntumkan label-label yang lain selain Islam. Bukankah hal demikian menimbulkan paradox yang sangat kuat sekali.
Dalam masalah-masalah perkembangan ekonomi dan masalah kehidupan dunia yang lain. Umat Islam sendiri terjebak dalam pemahaman yang keliru tentang sebuah  hadits yang mengatakan : “ kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian”. Dengan hadits ini seakan-akan umat Islam merasa “ legal ” kalau dirinya dimarginalkan oleh kelompok lain terutama dalam sisi-sisi perkembangan kehidupan duniawi. Merasa legal untuk meniru system ekonomi lain yang dianggap baik walaupun jelas-jelas tidak berpihak pada kemajuan Islam dan kaum muslimin itu sendiri.
Untuk meluruskan kesalahan pemahaman di atas, sebaiknya kita pahami betul apa yang disampaikan oleh Dr. Yusuf Qordawi, sebagai berikut :
Adapun hadits yang berbunyi : “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian “, adalah hadits shahih[3] . Hadits ini dikemukakan dalam kasus tertentu, yaitu dalam pencangkokan pohon kurma dan bagaimana Rasulullah saw. mengemukakan pendapat yang sifatnya tekhis pada suatu urusan duniawi yang beliau tidak mengetahuinya, karena beliau tinggal di lembah yang tidak terdapat tumbuh-tumbuhan. Karena itu kita tidak boleh melampaui batas hadits ini dan membatalkan semua nash al-Qur’an dan hadits yang berkaitan dengan jual beli, pinjam meminjam, permainan harga dan lain sebagainya, dengan satu hadits ini.[4]
Realita sekarang, - berangkat dari kesalahan persepsi tesebut - umat Islam merasa bebas mengadopsi cara-cara perekomian yang lain, atau membangun system ekonomi yang didasarkan atas kemauan untuk mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya. Padahal tidak demikian adanya, melaikan telah ada nash-nash al-Qur’an dan hadits yang mengatur masalah-masalah yang dianggap kontemporer ini. Dan banyak dijumpai teks-teks hasil istimbath para imam madzhab mengenai hal-hal tersebut.
Jadi sebenarnya akar permasalahnnya, adalah terletak pada; sejauh mana kemauan umat Islam itu sendiri untuk mengaktualisasikan nilai-nilai luhur agamanya dalam segala lini kehidupan ini, sehingga dengan demikian umat Islam menjadi pioneer dalam percaturan peradaban kehidupan umat manusia. Atau malah menjadi pecundang, dikarenakan malas dan tidak peka dalam menyikapi perkembangan zaman yang cenderung berupa arus yang sangat keras ini. Apabila demikian, maka tidak salah apabila maqalah yang mengatakan bahwa “ Islam tertutup kemajuannya oleh ulah kaum muslimin sendiri ” akan semakin cepat dan semakin nyata membenamkan agama yang hanif dan ya’lu wa la yu’la alaih ini dalam kawah ketidakpastian dan kehancuran umatnya dan umat manusia secara keseluruhan. Akan lebih jauh untuk menyaksikan cahaya Islam rahmatan lil alamin.
Tidak semua nilai-nilai luhur agama Islam yang harus diaktualkan oleh kaum muslimin, melainkan hanya sisi agama yang mengatur perilaku atau tatalaksana hidup, baik intern sesame kaum muslimin dan ataupun tata laksana hidup antara kaum muslimin dan non muslim. Pendeknya yang harus diaktulisasikan adalah sisi syrari’ah atau hokum Islam saja, lebih-lebih dalam menyikapi masalah-masalah kontemporer pada saat ini. Sedangkan masalah aqidah dan akhlaq, biarkanlah dengan kemapanannya masing-masing sebagai modal utama dan perhiasan hidup bagi pemeluk agama yang hanif ini.
Peran pemikir dan cendikiawan muslim dalam aktualisasi hukum Islam dalam hal-hal yang bersifat ijtihadi atau kontemporer adalah suatu keniscayaan yang sangat ditunggu-tunggu demi izzul islam wal muslimin di zaman yang sudah akhir ini.
B.     Maksud dan Tujuan Penelitian
Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk :
-          Memberikan pemahaman yang sebenarnya bahwa syari’at Islam adalah satu-satunya norma yang selaras dengan fitrah manusia, sehingga dengannya manusia menjadi tahu untuk apa dan mengapa ia diciptakan.
-          Memberikan gambaran analisis hukum Islam dalam menghadapi tantangan globalisasi dengan produk-produk kontemporernya.
-          Memberikan arah dan tujuan pemikir dan pelaku isu-isu kontemporer ke dalam bingkai hukum Islam.
-          Memberikan solusi pemecahan masalah di tengah hancurnya system yang lain ( ekonomi, social, politik  dan budaya )
Sedangkan tujuan utama penulisan ini ialah :
-          Berusaha untuk menempatkan satu persatu kasus-kasus yang bersifat kontemporer dengan secara tepat dan benar dalam salah satu transaksi atau maksud dari sekian transaksi dan maqasid dari syari’at Islam.
-          Memaparkan metode korelasi atau kajian materi mengenai kasus-kasus kontemporer tersebut, sehingga diketahui kedudukan hukumnya dengan jelas dalam hukum Islam.
-          Memberikan kesimpulan akhir tentang suatu kasus yang bersifat kontemporer seharusnya berbentuk seperti apa sehingga ia sesuai dengan syari’at Islam dan bisa dijadikan pijakan bagi seluruh umat Islam.

C.    Tinjauan Tentang Masalah-Masalah Kontemporer
Sebelum membahas masalah kontemporer harus dijelaskan dulu batasan antara kontemporer dan klasik. Dalam hal ini hukum Islam juga harus diberikan pemahaman yang sama antara dikotomi klasik dan kontemporer. Dikarenakan hukum Islam dalam menghadapi masalah-masalah yang mempunyai aspek-aspek modern terbagi dalam dua termyn pemahaman yang berbeda, dimana keduanya memiliki interest yang berbeda terhadap pemberdayaan hukum Islam.
Pemahaman pertama bahwa hubungan hukum Islam dengan hal-hal yang bersifat modern yang “datangnya” dari barat ini adalah berupa perkembangan asek-aspek modern terhadap hukum Islam. Di sini, hubungan yang terjalin dalam wujud subordinasi. Di mana posisi hukum Islam diletakkan pada posisi yang lemah dan tanpa daya mengahadapi ‘gempuran’ nilai-nilai modern. Bahkan disisi yang lain, dengan sangat congkak aspek-aspek kemodernan telah mengebiri bahkan memperkosa hukum Islam untuk tunduk dan patuh dalam pengakuan nilai-nilai modern. Pada posisi ini terlihat sekali bahwa hukum Islam sudah tidak independen lagi.
Pemahaman kedua sedikit berbeda dengan yang pertama tadi dengan adanya pergeseran struktur kata. Pergeseran kata ini membawa perubahan struktur kalimat menjadi perkembangan hukum Islam di (era) modern. Pemahaman seperti menunjukkkan bahwa yang menjadi kata kuncinya adalah aspek sejarah. Hal ini dikarenakan sejarah tidak pernah berhenti, tetapi berputar dan berkembang bersama dengan perkembangan waktu dan zaman. Yang dulunya satu, menjadi dua, atau yang dulunya belum ada kemudian menjadi ada, dan seterusnya, itulah sejarah.
Begitu pula yang terjadi pada hukum Islam. Hukum Islam sebagai proses sejarah memiliki titik awal dan bergerak ke depan menembus batas ruang dan waktu, yang akhirnya bertemu dengan satu era yang manusia sepakat menamainya dengan era modern, sedang masalah-masalah kehidupan yang berkembang di dalamnya disebut dengan masalah-masalah kontemporer.
Era modern ini sebagaimana dikenal sekarang telah dikemukakan devinisi dan ciri-cirinya oleh Jean Jaeques Rousseau ( 1712-1778 M.)[5], yaitu dunia yang bersendikan atas ; (a) Negara-bangsa ( nation-state ) dalam system politik, (b) tekhnologi yang berdasarkan ilmu pengetahuan, (c) rasionalisme, (d) penggandaan keuntungan, dan (e) sekulerisasi dan peremehan peran agama.
Sedang Harun Nasution membagi ciri pemikiran Islam ke dalam tiga zaman, yakni zaman klasik ( abad ke 7-12 ) zaman ini disebut oleh beliau sebagai zaman rasional, zaman pertengahan ( tradisional ) abad 13-18 dan modern (kontemporer) abad ke 19 dan seterusnya. Berdasarkan kriteria di atas, fiqh klasik yang dimaksudkan di sini ialah pola pemahaman fiqh abad 7-12, sedangkang fiqh kontemporer adalah pola pemahaman fiqh abad 19 dan seterusnya.[6]
Jika kita sepakat dengan pembagian yang dilakukan Harun Nasution berarti dalam kajian perkembangan hukum Islam di era modern terbatas pada abad 19, di mana wilayah kekuasaan Islam sudah tidak lagi menjadi satu-kesatuan utuh. Kekuasaan Islam telah terpecah menjadi Negara bangsa ( nation-state ), dengan sudah tidak lagi mengindahkan struktur satu komando. Jadi kita memiliki Negara Turki, Mesir,Arab,India, Indonesia dan sebagainya, sebagai konskuensi dari berlakunya konsep nation-state.
Perkembangan hukum Islam di era modern diawali melalui persentuhan budaya barat (modern) yang masuk ke dunia Islam, yang dipelopori oleh Napoleon sewaktu melakukan perjalanan prestisiusnya ke Mesir. Dari sinilah titik awal persentuahn hukum Islam dengan dunia Barat. Pada masa ini, hukum Islam sudah tidak lagi sebagai ‘pemain tunggal” , tetapi telah mempunyai ‘teman main’ dalam fream hukum yang dilahirkan oleh dunia Barat.
Begitu pula yang terjadi di Indonesia sebagai bekas jajahan bangsa Barat selama kurang lebih tiga setengah abad, adanya dualisme hukum adalah bagian dari suasana masyarakat. Satu segi hukum Islam masih mepunyai akar dalam socio-cultur umat Islam Indonesia, tetapi di sisi lain hukum Barat sengaja telah memasuki wilayah yang sebenarnya menjadi kekuasaan bagi hukum Islam. Kita lihat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia masih mewarisi dari H.I.R. ( Hirglande Indie Reglement ), R.Bg. (Reglement Burgelech) dan B.W. ( Burgelech Weetbouch ) sebagai peninggalan penjajah Belanda. Akhirnya, wilayah kekuasaan hukum Islam sedikit banyak mengalami keterasingan di rumahnya sendiri.
Disebabkan adanya dualisme dalam bidang hukum, maka pemberlakuan hukum Islam membutuhkan praktek taqnin sebagai unsur bawaan dari Barat dan baru bagi dunia Islam. Ide adanya taqnin ini mempunyai pengaruh yang signifikan pada metode istinbath yang dipakai dalam menetapkan sebuah hukum. Pada masa sekarang ini istinbath hukum dapat terjadi jika telah melalui proses taqnin. Hal ini yang membedakan keadaan hukum pada zaman pertengahan yang dalam metode istinbath hukumnya masih  bisa mengakses langsung pada al-Qur’an dan Hadits, dan tidak memerlukan proses taqnin.
Di sisi lain, metode istinbath yang dipakai di era modern ini, lebih mengutamakan kodifikasi hukum sebagai rujukan utama dalam menjawab permasalahan yang timbul dari perkembangan masyarakat, daripada memamfaatkan lembaga-lembaga fatwa yang ada. Sebagai contoh apa yang terjadi di Negara kita NKRI., dengan adanya KHI. ( Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ) , UU. No. 1 Th. 74 dan UU. No. 29 Th. 1989, sekuat apapun fatwa MUI., masih kalah jauh efektifnya dari produk-produk taqnin  tersebut. Sehebat apapun keputusan Bahtsul Masail NU. dan Majlis Tarjih Muhammadiyah, masih dipandang sebelah mata dalam prakteknya bahkan oleh umatnya sendiri. Karena apa, karena keputusan-keputusan tersebut tidak mengikat secara formal, melainkan hanya secara moral saja.
Ruang lingkup kajian hukum Islam di era kontemporer di sini mencakup ; masalah-masalah hukum Islam yang berhubungan dengan situasi kontemporer (modern). Hal ini seperti dijelaskan oleh Muhammad Azhar dalam bukunya “Fiqh Kontemporer dalam Pandangan Neomodernisme Islam” [7] sebagai berikut ; kajian hukum Islam kontemporer tersebut dapat dikatagorikan menjadi beberapa aspek, sebagai berikut :
1.      Aspek hukum keluarga, seperti pembagian harta waris, akad nikah via telepon, perwakafan, nikah hamil, KB, dan lain-lain.
2.      Aspek ekonomi, seperti system bunga dalam bank, zakat mal, zakat profesi, perpajakan, kredit, arisan, multi level marketing, asuransi dan lain-lain.
3.      Aspek pidana, seperti hukum potong tangan, hukum pidana Islam, system hukum nasional, pemberlakuan syari’at Islam di sebagian daerah dan hukum internasional.
4.      Aspek kewanitaan, seperti busana muslimah, wanita karier, KDRT, kepemimpinan wanita dan lain-lain.
5.      Aspek medis, seperti pencangkokan organ tubuh, pembedahan mayat, kontrasepsi mantap, euthanasia, cloning, bayi tabung dan lain-lain.
6.      Aspek teknologi, seperti menyembelih hewan secara mekanik, seruan adzan dengan kaset, makmum kepada TV. atau radio, memberi salam dengan bel, al-Qur’an di HP. dan lain-lain.
7.      Aspek politik, seperti perdebatan sekitar istilah negara bangsa ( nation-state ), proses pemilihan pemimpin, politisi busuk, money politik, sumpah politik dan lain sebaginya.
8.      Aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah, seperti tabungan haji, tayammum dengan selain debu, ibadah qurban dengan uang hasil urunan, asuransi haji dan lain-lain.
Melihat berbagai aspek di atas, memberikan pemahaman bahwa masalah hukum Islam kontemporer sudah mencakup semua lini kehidupan manusia dan manusia tidak dapat mengelak dari permasalahan tersebut, disebabkan masalah-masalah tersebut adalah masalah kehidupan yang akan terus berkembang selaras dengan perkembangan kehidupan manusia.  
D.    Metodologi Hukum Islam Terhadap Masalah Kontemporer.
Hukum Islam dan periode (era) kontemporer adalah rangkain kata yang mengandung arti bahwa hukum Islam akan selalu berada pada suatu masa kekinian dan sekarang. Kontemporer sendiri dipahami sebagai suatu waktu yang sama, semasa, sewaktu, masa kini dan dewasa ini.[8] Oleh karenanya, jika rangkaian kata tersebut dikaitkan dengan problem ( masalah ) kontemporer berarti ada dua jenis, kelas, atau golongan aspek kehidupan yang dirangkaikan dalam sebuah struktur  kalimat, yaitu hukum Islam dan masalah kontemporer. Dalam hal ini yang menjadi acuan adalah bagaimana tanggapan dan metodologi hukum Islam dalam memberikan jawaban terhadap masalah-masalah kontemporer ( kekinian ).
Kajian ini lebih dititiktekankan kepada kondisi perkembangan dan metodologi hukum Islam kontemporer dalam skala lokal, yaitu hukum Islam yang berjalan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ), atau dapat disebutkan sebagai Islam dan Keindonesiaan. Hal ini dimaksudkan agar kajian ini lebih memberikan sentuhan terhadap budaya Indonesia yang dalam beberapa hal mempunyai karakteristik yang berbeda dengan negara muslim lainnya.
Untuk memahami fiqh kontemporer tidak terlepas dari pemahaman fiqh klasik dalam artian metode memahami fiqh klasik juga harus dipakai sebagai metode memahami fiqh kontemporer, karena pada hakekatnya keduanya sama-sama fiqh, dan objeknya sama-sama perbuatan manusia. Dalam artian bahwa memahami fiqh klasik dijadikan pijakan dalam pemahaman fiqh kontemporer. Hal ini diperlukan agar terhindar daripada penafsiran suatu hukum berdasar hawa nafsu.
Metode pemahaman fiqh versi imam-imam mujtahid madzhab mutlak diperlukan dalam menganalisa permasalahan fiqh kontemporer karena bagaimanapun mereka selalu berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Hadits. Sedang indikasi dari al-Qur’an dan Hadits dalam penetapan hukum suatu peristiwa berdasarkan keduanya sangat kuat sekali. Hal ini ditegaskan oleh ayat ke-59 surat al-Nisa’ sebagai berikut :
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqߙ§9$# ’Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt“»uZs? ’Îû &äóÓx« çnr–Šãsù ’n<Î) «!$# ÉAqߙ§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ    
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[9]
Kata “ sesuatu” atau “syay-in” pada ayat tersebut telah mencakup semua yang mungkin terjadi sejak ayat ini diturunkan sampai nanti kiamat terjadi. Jadi mengikuti koridor ini seharusnya para pemikir muslim dalam analisa dan persepsinya seharusnya berangkat dari kedua sumber al-Qur’an dan Hadits baru kemudian dikembangkan dengan metode analisa yang lain.
Menurut H. Sulaiman Rasyid dalam bukunya Fiqh Islam, pengambilan hukum fiqh baik yang klasik atau yang kontemporer diambil dari : al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Dengan argument itu beliau menyalahkan sangkaan orang yang mengatakan bahwa ilmu fiqh semata-mata pendapat manusia ( alim ulama’ ) saja, karena sebenarnya fiqh itu diambil dan disusun dari al-Qur’an, hadits,ijma’ dan qiyas. Qias pun harus berdasar al-Qur’an dan Hadits, sebagaimana diketahui oleh tiap-tiap orang yang mempelajari ilmu ushul fiqh.[10]
Dalam memandang suatu fenomina hukum yang terjadi, para ahli hukum Islam telah sepakat untuk menganalisa kasus-kasus hukum tersebut dengan metode yang telah ditetapkan oleh al-Qur'an dan hadits, serta dengan menggunakan metode yang telah mereka pakai sejak pertumbuhan ushul fiqh pada masa-masa abad pertama kemajuan Islam. Metode-metode tersebut ada yang disepakati penggunaannya dan ada yang masih dipertentangkan diantara mereka.
  1. Metode Qiyas.[11]
Qiyas adalah mentode analogi atau perbandingan. Materi yang dibandingkan adalah illat hukum antara hukum asal dan cabang.
Rukun qiyas adalah : Asal, cabang, hukum asal dan 'illat hukum.
a.       Asal, adalah transaksi atau kasus yang pernah terjadi pada masa Rasulullah saw. Dan kepadanya telah ditetapkan hukumnya.
b.      Cabang, adalah  praktek hal-hal yang bersifat kontemporer dewasa ini.
c.       Hukum Asal adalah hukum yang telah ditetapkan pada masa Rasulullah saw. Terhadap suatu kasus attau transaksi, dan
d.       'illat hukum, adalah alasan atau penyebab ditetapkannya hukum terhadap suatu peristiwa dulu pada masa Rasulullah saw. Dan alasan ini juga yang terdapat dalam suatu kasus kontemporer.[12]

  1. Metode Istihsan
Kesamaan illat hukum antara asal dan cabang adalah titik tekan aplikasi penetapan hukum dengan metode qiyas dan istihsan, perbedaannnya adalah bahwa dalam qiyas, kesamaan illat itu sangat kuat sedangkan dalam istihsan persamaan illat keduanya sangat tipis sekali sehingga harus berpaling dari qiyas jali kepada qiyas khafi atau dari hukum kulli kepada hukum juz'iy.
  1. Metode Istishhab
Istishhab dalam artian sebagai metode kodifikasi hukum terhadap peristiwa (non I'tiqadi) yang telah terdahulu untuk selalu ditetapkan sebagai hukum peristiwa tersebut sebelum ada petunjuk yang menyatakan bahwa dalil peristiwa itu telah berubah.
  1. Metode Istishlah ( Al Maslahah Al Mursalah )
Memperoleh kemaslahatan dan menolak kerusakan pada manusia adalah tujuan pokok syari'at Islam. Kedua hal inilah yang disebut sebagai ideal moral syari'ah, karena dengan keduanya dapat terjaga intensitas agama, jiwa, akal,  harta dan keturunan. Jadi bagaimanapun kedua hukum syari'ah baik yang ta'abbudi atau ta'aqquli hanyalah didasarkan pada kedua ideal moral di atas.
Dalam tataran aplikasi, yang harus dikedepankan adalah menolak kerusakan daripada memperoleh kemaslahatan. Dikatakan dalam suatu kaidah fiqh :
درء المفاسد اولى من جلب المصالح[13]
"menolak kerusakan lebih utama daripada memperoleh kemaslahatan".
Menolak kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan adalah dua hal yang telah menjadi ruh dari syari’at Islam ini.  Oleh karena itu banyak lagi metode yang dipakai ulama’ dalam menganalisa suatu kasus sehingga ditemukan sisi kebaikannya untuk kemaslahatan bagi umat manusia, seperti ‘urf, syar’u man qablana dan madzhabus shahabi.
Kaitannya dengan metodologi Islam di Indonesia, mengutip pernyataan Dawam Rahardjo sebagai berikut : “ sebenarnya misi gerakan Islam untuk merealisasikan syariat dalam kehidupan individu, keluarga , masyarakat dan negara masih terus bisa dilaksanakan”. Menurut beliau ada dua pola realisasi hukum syariat tersebut di bumi Indonesia, yaitu : pertama, melaksanakan hukum Islam sebagai hukum voluntir (voluntary law ), seperti pernah dikemukakan oleh Syafruddin Prawiranegara, yaitu dilaksanakan oleh dan dalam rangka civil society yang relative independen dari nagara. Kedua, formalisasi hukum Islam menjadi hukum positif, sebagai suatu jalan pintas. Kedua pola tersebut telah berjalan di Indonesia, tanpa formalisasi Piagam Jakarta. [14]
E.     Analisa Hukum Islam terhadap Masalah-Masalah Kontemporer
-          Metode analisa
Analisa hukum Islam terhadap masalah kontemporer yang dimaksudkan di sini adalah : Masalah komtemporer tersebut dianalisa dengan medtode analisa hukum fiqh dengan tekhnik kajian isi atau materi unsure-unsur masalah kontemporer tersebut sehingga bisa dianalogikan dengan salah satu transaksi atau kasus yang sudah dikenal dalam syariat Islam.
Analisa dengan tekhnik kajian isi atau unsur ini akan selalu bisa dilaksanakan mengingat setiap kasus atau setiap transaksi dapat dipastikan mempunyai unsur pelaku ( subjek ) dan pekerjaan ( predikat ) dan juga sasaran ( objek ). Ketiga hal inilah yang melatarbelakangi timbulnya ‘illat hukum pada kasus atau transaksi tersebut. Maka dalam suatu kasus atau transaksi tersebut sudah pasti dapat diketahui ‘illat atau alasan terhadap timbulnya aspek hukum Islam (hukum taklifi) di dalamnya yang meliputi halal, haram, boleh ( mubah ) makruh dan sunnat (mustahab ).
Kemudian ‘illat-‘illat hukum tersebut dianalisa kesesuainya dengan maqaasid syari’ah hukum Islam. Dikaji mafsadat dan mamfaatnya kepada kehidupan umat Islam. Dengan memakai metode-metode kajian-kajian hukum Islam klasik ( al-Qur’an, Hadits, Ijma’ Qiyas, s/d al-Maslahah ) sehingga output dari analisa masalah kontemporer tersebut benar atau mendekati kebenaran.
Dalam kajian mengenai fiqh muamalah tidak jauh beda dengan kajian dalam fiqh ibadah, walaupun hukum asal keduanya sangat jauh berbeda. Seperti diketahui hukum asal fiqh ibadah adalah : segala sesuatunya dilarang dikerjakan, sehingga ada dalil nash yang memperbolehkan. Sedangkan hukum asal mu’amalah adalah : segala sesuatunya diperbolehkan, lecuali ada dalil nash yang mencegahnya. Persamaan dalam menganalisa keduanya adalah ; diantara kedua fiqh ibadah dan muamalah tersebut sama-sama mempunyai syarat dan rukun.  Nah, syarat dan rukun ini yang dianalisa, apakah ia ( syarat dan rukun ) telah memenuhi syarat untuk dihukumi sah atau boleh. Sehingga kepadanya bisa ditetapkan kebolehannya, atau tidak memenuhi syarat, sehingga bisa ditetapkan sebagai sesuatu yang tidak boleh.
Sebagai illustrasi, dalam fiqh sholat, telah ditetapkan syarat dan rukunnya. 10 syarat dan 17 rukun, dalam syarat dan rukun tersebut telah ada kriteria sah dan tidaknya. Begitu pula dalam jual beli ( bay’ ), unsur-unsur penyusun aqad atau transaksi tersebut bisa disebut dengan rukun atau arkan, dan terhadap masing-masing arkan tersebut terdapat syarat yang harus dipenuhi sehingga bay’ tersebut sah atau boleh. Rukun bay’ disini dapat disebutkan, yaitu: 1. Penjual ( Baa’i’ ), 2. Pembeli ( Musytari ) dan 3. Barang yang dijual (mabi’ ).4. Aqad/Transasksi/ijab-qabul. Diantara syarat-syarat penjual dan pembeli adalah ; dengan kerelaan, tidak terpaksa, bersifat boleh membelanjakan hartanya secara bebas, atas inisiatif sendiri, dll. Diantara syarat barang dijual, bukan barang najis, bisa diserahterimakan, barangnya bisa disaksikan kedua belah pihak dll. Diantara syarat ijab qabul adalah : dengan kalimat serah-terima, telah habis hak khiyarnya. Dalam satu majlis dll. [15]
Contoh lain secara tekhnis akan dibicarakan pada bagian lain tulisan ini.
-          Sasaran analisa
Sasaran analisa ini adalah masalah-masalah kontemporer sebagaimana dipaparkan dalam klasifikasi di atas. Akan tetapi untuk mempersingkat dan membuat focus bahasan, maka sasaran analisa pada tulisan ini hanya masalah Asuransi saja, mengingat keterbatasan ruang dan waktu.. Sedangkan masalah yang lain masih menunggu uluran tangan pemikir lainnnya untuk di ”ekstrak” dan kemudian dipilah dan dipilih hal mana yang sesuai dengan hukum Islam dan tidak.
-          Tujuan analisa
Sebagaimana disebutkan di depan bahwa tujuan analisa ini adalah memberikan gambaran atas solusi masalah kontemporer ditinjau dari kacamata hukum Islam, dalam artian tekhnis bagaimana hukum Islam membedah masalah-masalah kontemporer tersebut sehingga diketahui isinya, apakah ia sesuai dengan anjuran syari’at atau tidak. Dan solusi bagaimana yang ditawarkan sehingga masalah tersebut bisa diterima dalam hukum Islam.
Sebagai tujuan akhir ialah menempatkan secara tepat dan benar posisi dan duduk permasalahan masalah kontemporer tersebut dalam bingkai hukum Islam. Syukur-syukur apabila semua permasalahan dapat dianalisa dan dibuat dalam bentuk skema dan tabel sehingga dapat dimengerti dengan mudah oleh umat Islam.

F.     Suatu Kajian Peristiwa
Secara tekhnis aktualisasi dan analisa hukum Islam terhadap masalah kontemporer dapat dirumuskan sebagai berikut :
a.       Devinisi  permasalahan
b.      Kajian tentang unsur-unsurnya
c.       Komparasai dengan salah satu kasus atau transaksi dalam hukum Islam
d.      Analisa kesamaan atau ketidaksamaan unsure-unsurnya
e.       Kesimpulan yang mengarah kepada salah satu hukum Islam taklifi.
Di bawah ini contoh analisa dan aktualisasi hukum Islam dalam masalah asuransi, sebagai berikut :
Devinisi :
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan asuransi atau pertanggungan adalah “suatu perjanjian (timbal-balik), dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya, karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya, karena suatu peristiwa tak tentu (onzeker vooral)”.[16]
Asuransi adalah transaksi suatu perjanjian dimana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah unag premi sebagai pengganti kerugian yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin, karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas akan terjadi, peristiwa itu meliputi, kebakaran, pencurian, kerusakan dan kematian.[17]
Dalam ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa asuransi ( aqdud-ta’min ) adalah “ transaksi perjanjian antara dua pihak; pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat”.[18]
Kajian unsur-unsur Asuransi.
Unsure-unsur asuransi menurut pasal 246 KUHD ( Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ) adalah :
1.      Pihak-pihak dalam perjanjian, yakni Penanggung ( PT. Asuransi ) dan Tertanggung ( nasabah )
2.      Peralihan resiko dari tertanggung kepada penanggung
3.      Objek pertanggungan, dapat berupa benda, atau kepentingan yang melekat pada benda dan sejumlah uang.
4.      Peristiwa yang tak tertentu (onzeker vooral)
5.      Ganti kerugian, yaitu sejumlah uang yang jauh lebih besar daripada premi yang dibayarkan tertanggung kepada penanggung.[19]
Komparasi dengan salah satu transaksi dalam Hukum Islam.
Asuransi sering diqiyaskan dengan kafalah atau takaful, yaitu tolong menolong dan saling menjamin. Dan juga diqiyaskan kepada aqad mudlarabah  atau bagi hasil, juga kepada tadlamun saling menanggung.
Dalam prinsip takaful ini semua peserta asusransi menjadi penolong dan penjamin satu sama lain.. Misalnya X meninggal, maka Y,Z dan anggota lainnya harus membantu. Syarikah Takaful bertindak sebagai al-Mudlarib penerima pembayaran dari peserta takaful (  penerima polis asuransi ), diinvestasikan sesuai prinsip syari’ah, sedangken shahibul maal adalah peserta takaful yang memperoleh mamfaat jasa perlindungan.[20]
Analisa kesamaan atau ketidaksamaan unsur-unsur asuransi dengan mu’amalah islam.

Dalam menganalisa unsur-unsur asuransi ini harus disertakan pula rukun dan syarat kafalah atau takaful, dlaman atau tadlamun dan syirkah muddlarabah.
Sebagai subjek dari ketiga transaksi tersebut adalah : kafiiil atau kaafil, sama dengan dlamin, sama dengan mudlarib. Adalah orang/badan yang menanggung, atau yang memberikan jaminan pertanggungan. Dalam hal ini yang menduduki posisi subjek ini adalah Perusahaan Asuransi. Untuk hal ini bisa dipastikan telah memenuhi syarat dan dihukumi sah.
Berkedudukan sebagai subjek atau pelaku juga adalah orang yang ditanggung (nasabah). Syaratnya adalah , merdeka, berkehendak sendiri, dan bebas membelanjakan hartanya. Juga  bisa dipastikan memenuhi syarat dan bisa dihukumi sah. Kedua pihak PT. Asuransi dengan Nasabah tersebut dalam bahasa fiqh disebut sebagai ‘Aqidaani.
Objek dari ketiga  aqad tersebut adalah pertanggungan atau jaminan yang diberikan oleh PT. Asuransi kepada nasabah. Dalam menyikapi hal ini ulama’ berbeda pendapat karena hal yang ditanggung tersebut belum bersifat pasti, artinya belum tertentu (onzeker vooral). Hal ini tidak dijumpai dalam ketiga aqad tadi, baik dalam kafalah, dlaman ataupun mudlarabah.
Selanjutnya yang dikaji adalah transasksi-transaski ( predikat ) yang mengkaburkan arti dari ketiga aqad tadi. Apabila asuransi disamakan murni dengan kafalah, maka yang dijumpai dalam kitab-kitab fiqh klasik hanya berupa pertanggungan hak yang berupa haqqul adami yang ditanggung oleh penanggung yang akan dibayarkan kepada orang yang mempunyai hak wajib bagi tertanggung.[21]
Apabila dianalogikan dengan syirkah mudlarabah, maka pembagian hasil usaha kedua pihak tersebut harus diketahui dengan jelas prosentasenya dan jangka waktu periodiknya. Sedangkan asuransi tidak demikian, karena yang ditanggung oleh penanggung terhadap tertanggung masih berupa peristiwa yang tidak tertentu, sehingga jumlahnya tidak dapat dipastikan. Sedangkan uang yang harus dibayarkan oleh tertanggung kepada penanggung adalah bersifat periodic, tetap dan dalam jumlah yang telah ditentukan sebelumnya.
Dengan model analisa seperti ini maka dapat diketahui bahwa kata-kata kafalah, tadlamun dan mudlarabah hanya dipakai atau ditiru secara bahasa saja, tanpa mengikutsertakan  praktek-prakteknya ke dalam transaksi asuransi.
Apalagi, apabila dikaitkan dengan investasi premi-premi nasabah oleh pihak perusahaan asuransi, maka dewasa ini sangat dikuatirkan bahwa premi-premi tersebut diinvestasikan dalam usaha-usaha yang tidak bebas riba.
Oleh karena itu semua masih terdapat perbedaan ulama’ dalam memutuskan hukum asuransi ini dalam bingkai hukum Islam. Sebagaimana disebutkan setelah bagian ini.

Kesimpulan hukum asuransi.
Kalangan Ulama’ berbeda pendapat dalam menyimpulkan hukum asuransi ini menjadi 4 ( empat ) golongan pendapat, yaitu :
Pertama, mengharamkan . ( Sayyid Sabiq, Yusuf Qardawi, Abdullah Qalqilii ). Alasan mereka adalah :
-          Asuransi pada hakikatnya sama dengan judi.
-          Mengandung unsure tidak jelas/tidak pasti ( uncertainly )
-          Mengandung riba,
-          Terdapat unsure ekploitasi harta orang lain dengan bathil, karena apabila pemegang polis tidak bisa melanjutkan pembayaran premi, maka uang premi yang telah dibayar bisa hilang.
-          Premi-premi yang dibayarkan nasabah diputar dalam praktik riba.
-          Asuransi termasuk aqad sharfi ( salah satu aqad ribawi ), yaitu : jual beli/ tukar menukar mata uang dengan tidak tunai/yadan-biyadin.
-          Hidup mati seseorang dijadikan objek bisnis, karena mendahuli taqdir.
Kedua, membolehkan, (Abdul Wahab Khallaf, Musthafa Ahmad Zarqa ), alasannya :
-          Tidak ada nash yang melarang asuransi
-          Ada kesepakatan antara 2 pihak dan saling menguntungkan.
-          Termasuk aqad mudlarabah ( bagi hasil )
-          Termasuk koperasi ( syirkah ta’awuniyah )
-          Diqiyaskan dengan system pensiun.
Ketiga,asuransi sosial boleh, asuransi komersial haram. ( Moh. Abu Zahrah ), alasannya :
-          Melihat unsur dasar asuransi sosial adalah ta’awuniyah ( tolong-menolong )
-          Asuransi sosial tidak berorientasi hasil ( non profit oriented )
-          Asuransi komersial berorientasi pada hasil semata.
Keempat,syubhat, karena tidak ada dalil syar’ie yang jelas.[22]
Dari berbagai alasan ulama’ di atas, penulis lebih berkesimpulan kepada mengharamkan asuransi dengan melihat realita yang ada dimana asuransi konvensional seperti yang dikenal di negara kita ini adalah lebih mendekati kepada alasan-alasan kelompok ulama’ pertama.
Akan tetapi demikian, jalan tengah yang penulis tawarkan untuk menyeleraskan dengan jiwa syari’at Islam sehingga bisa dihukumi boleh/halal adalah sebagai berikut :
-          Berbentuk asuransi sosial, bukan komersial. Sehingga orientasinya adalah tolong-menolong bukan mencari laba/hasil semata. Dengan demikian akan sesuai dengan prinsip kafalah dalam syariat Islam.
-          Ada jaminan bahwa premi yang dibayarkan nasabah tidak akan dan tidak boleh diputar dalam transaksi yang mengandung unsur riba.
-          Ada transparansi antara perusahaan asuransi dengan nasabah mengenai : jumlah kas dan saldo berjalan perusahaan, laba yang dihasilkan dari peputaran premi dalam usaha yang halal menurut syariat, biaya administrasi yang dibutuhkan termasuk gaji pegawai dan uang jaminan yang telah diberikan kepada nasabah yang mendapat musibah.
-          Dengan demikian, aqad asuransi juga memenuhi syarat sebagai aqad mudlarabah sekaligus syirkah ta’awuniyah. Walapun ada perbedaan sedikit, yaitu : uang jaminan yang diberikan perusahaan asuransi kepada nasabah tidak bisa disebutkan sebagai bagi hasil karena uang tersebut tidak disebutkan dengan prosentase yang jelas dan periodik waktu dalam polis asuransinya, melainkan berupa hak yang diterimakan sebagi balas jasa kesediaannya membayar iuran/premi ta’awuniyahnya.

G.    Penutup
Sebagai penutup tulisan ini dapat disimpulkan bahwa masih terdapat jalan untuk mengaktualkan hukum Islam dalam kehidupan umat manusia selama kaum muslimin sendiri mau berusaha dan sportif mengusahakannya. Aktualisasi hukum Islam adalah upaya yang harus diusahakan agar kehidupan umat manusia mendapat keridlaan Allah swt.
Aktualisasi hokum Islam dalam tataran teoritis adalah usaha untuk menjadikan hukum Islam sebagai hukum voluntir dari dan oleh masyarakat Iislam dalam rangka civil society disamping mengushakan hukum Islam sebagai hukum positif yang masih membutuhkan lembaga  taqnin untuk merealisasikannya.
Aktualisasi hukum Islam dalam tataran praktek adalah memberdayakan hukum Islam dalam mengahadapi  gempuran era modern dengan masalah-masalah kontemporernya dengan menempatkan hukum Islam sebagai alat bedah untuk mengekstrak masalah kontemporer tersebut sehingga diketahui celah dan kemungkinan menjadikannya sesuai dengan ideal moral syari’at Islam. Pada tahap selanjutnya diketahui kedudukan hukum yang sebenarnya menurut hukum Islam sehingga dapat dijadikan pegangan oleh kaum muslimin.

DAFTAR PUSTAKA


Abbadi Moh., Idhah al Qawaid al Fiqhiyah,  Jeddah : AL Haramain, 1966.
Abdullah, Taufiq dan Karim, M. Rusli.(editor ), Meodologi Penelitian Agama (Sebuah Pengantar), Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1989.
Al-Husaini, ‘Alami Zadah Faidullah, Fathor Rahman li Thalibi Ayatail Qur’an, ttm. Maktabah Dahlan Indonesia, tt.
Al-Husaini, Abi Bakr Ibn Mohammad, Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayatil Ikhtishor, Semarang : Toha Putra, tt.
Ali, AM. Hasan. Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam ( Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis dan Praktis ), Jakarta : Prenada Media, 2004.
Dahlan, Abdul Aziz, dkk (editor), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996.
Daud, Ma’mur, Terjemah Hadits Shahih Muslim, Jakarta : Penerbit Wijaya Jakarta, 1996.
Hisan, Dr. Husain Hamid, Asuransi Dalam Hukum Islam ( Tinjauan atas Riba, maisir dan Gharar ), Jakarta : CV. Firdaus Jakarta, 1996.
http//www.google.com. bidang pencarian : asuransi
Jurusan Syari’ah STAIN Pmk., Al-Ihkam ( Jurnal Hukum dan Pranata Sosial)  Vol. III No.2 Desember 2008, Pamekasan, Jurusan Syari’ah STAIN Pmk., 2008.
Karim, Adiwarman, Bank Islam ( Analisis Fiqh dan Keuangan ), Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Khollaf, Abd. Wahab. Ilmu Ushul Fiqh, Kairo : Dar-al-Qalam, 1978.
LBM-PPM Lirboyo Kediri, Masalaha-Masalah Agama ( Solusi dan Penalarannya ), Kediri : LBM-PPM Lirboyo, 2004.
Praja, Dr. Juhaya S. Filsafat Hukum Islam. Bandung : LPPM Universitas Islam Bandung, 1995.
Purwosutjipto, HMN., Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 6, Jakarta : Djambatan, 1986.
Qardhawi, Dr. Yusuf. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam. Jakarta : Rabbani Press, 1997.
Rasjid, H. Sulaiman, Fiqh Islam ( Hukum Fiqh Lengkap ), Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1994.
Sumitro, Warkum, Asas-Asas perbangkan Islam, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1997.
Syahatah, Dr. Husain Husian, Asuransi dalam Persfektif Syari’ah, Jakarta : Amzah, 2006.
Tim Penyusun Kamus, Pusat Bahasa,  Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1996.
Yunus, Prof.Dr. H.Mahmud. Tafsir Qur’an Karim. Jakarta : PT. Hidkarya Agung, 1984.
Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Jakarta, PT. Toko Gunung Agung. 1997.
Zuhri, Drs. Mohammad (alih bahasa ), Tarjamah Tarikh Tasyri’ al-Islami, Semarang : Darul Ihya’ Indonesia, 1980.



[1] Q.S. Al-Ruum ; 30
[2] Q.S. Ali Imran : 19
[3] HR. Muslim dalam kitab Shahih-nya dari Siti ‘Aisyah dan Anas.
[4] Dr. Yusuf Qardawi, Peran nilai dan moral dalam Perekonomian Islam,( Jakarta: Rabbani Press, 1997),, hlm.12.
[5] AM. Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam,( Jakarta: Prenada Media, 2004). Hlm. 42.
[6] I b I d.
[7] Muh. Azhar, Fiqh Kontemporer dalam Pandangan Neomodernisme Islam, ( Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 43.
[8] Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1996), Cet, ke-7. Hlm. 522.
[9] Q.S. Al-Nisa’ : 59.
[10] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, cet.ke-29, 1996). Hlm. 12.
[11] Abd. Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,( Kairo: dar al-Qalam, 1978). Hlm. 52
[12] ibid. H. 62.
[13] Abbadi Moh., Idhah al Qawaid al Fiqhiyah ( Jeddah, AL Haramain, 1966),hlm. 44.
[14] M.Dawam Rahardjo, Pengantar Buku Bank Islam, Analisis Fiqh dan Keuangan, Adiwarman. A.Karim, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-3. Th.2006.), hlm.xvii.
[15] Abi Bakr Ibn Muhammad al Husaini, Kifayatul Akhyar, (Semarang: Toha Putra, tt. Juz I.), hlm. 239-241.
[16][16] HMN.Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 6, (Jakarta : Djambatan, 1986), hlm.1.
[17] Masjfuk Zuhdi, masail Fiqhiyah, Jakarta, PT. Toko Gunung Agung. 1997. Hlm. 132.
[18] Abdul Aziz Dahlan, dkk (editor), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hlm. 138
[19] http//www.google.com. bidang pencarian : asuransi
[20] Warkum Sumitro, Asas-Asas perbangkan Islam,( Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1997.), Hlm. 169
[21] Abi Bakr Ibn Muhammad al Husaini, Kifayatul Akhyar, hal. 279-280.
[22] Masjfuk Zuhdi. Hal.134-135.

1 Komentar:

Blogger CoretanPenaNuril mengatakan...

assalamualaikum ust ini saya nuril wilda al aluf semester PAI A, begini saya mau nanya alamat email antum soalnya saya m nyetor tugas yg uts take home punya sayavtelatvnyetor karna saya gak hadir di karenakan sakit . 'ala ihtimamikum aqulu lakum syukron jazilan

5 Desember 2015 pukul 15.44

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda