APLIKASI BISNIS MODERN
DALAM PERSFEKTIF HUKUM DI
INDONESIA
A.
Latar Belakang Masalah
Kehidupan yang dikehendaki oleh Islam sebagai suatu
ideologi
adalah kehidupan yang seimbang antara kebutuhan duniawi dan kebutuhan ukhrowi,
seimbang antara phisik dan phisikis. Kehidupan dunia dijadikan dasar atau
pijakan bagi kehidupan akhirat, dalam artian bahwa urusan dunia dikejar dalam
rangka mengejar kehidupan akhirat, dan kehidupan akhirat dicapai dengan dunia.
Jadi orang yang baik adalah orang yang meraih keduanya secara proporsional,
secara seimbang, karena dunia adalah alat menuju akhirat, jangan dibalik, yakni
akhirat dikorbankan untuk urusan dunia.
Dewasa ini perkembangan bisnis sangat pesat sekali
bahkan cenderung tidak terkendali baik segi moral ataupun bentuk aplikasinya
yang seakan-akan mengabaikan nilai-nilai formal dalam perekonomian itu sendiri,
baik berupa keadilan perikemanusiaan ataupun nilai pokok ajaran agama Islam.
Keberadaan tersebut minimal, pertama, dilatarbelakangi
oleh pertikaian tiga sistem perekonomian
yang senantiasa bertarung dalam kancah perekonomian dewasa ini. Ketiga sistem
tersebut adalah ; satu, sistem ekonomi Islam yang berlandaskan pada trianggel
arrangement yaitu Allah Swt., sebagai pemilik, manusia sebagai pengelola dan sumber daya
alam untuk dikelola oleh manusia sesuai dengan kehendak mutlak Allah Swt. Dua,
sistem kapital yang didasarkan kepada dua sisi yaitu manusia yang mengusahakan
untuk megekploitasi sebanyak-banyaknya sumber daya alam untuk kemudian
ditekankan kepada pencapaian profit sebanyak-banyaknya dengan modal yang
se-sedikit mungkin. Tiga, sistem ekonomi marxis sosialis yang
mengekploitasi sebesar-besarnya sumber daya manusia dan sumber daya alam
sebagai mesin perekonomian untuk mendapatkan sebanyak mungkin keuntungan
produksi.
Kedua, akibat dari proses alienasi
atau pemisahan antara aspek positif dan aspek normative baik
dalam kajian suatu perekonomian ataupun tataran pelaksanaannya. Seharusnya
kedua aspek ini tidak terpisahkan sehingga tujuan-tujuan mulia perekonomian
untuk memenuhi hajat hidup manusia dapat tercapai tanpa ada kepincangan
ekploitasi baik itu sumber daya alam ataupun sumber daya manusia itu sendiri.[1]
Idealnya adalah : ajaran agama Islam dijadikan
sebagai sumber aspek normative yang tidak terpisahkan dari aspek
positif perekonomian itu sendiri. Aspek positif disini adalah unsure
positif dalam kegiatan ekonomi yakni usaha keras secara sendiri atau
bersama-sama demi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dimana pada finalnya
nanti diharapkan mengahsilkan kelompok masyarakat yang damai sejahtera dhahir
batin, bukan malah melahirkan masyarakat yang berkepribadian pecah ( split
personality ), sejahtera secara dlahir, secara materi namun batinnya sangat
menderita, kering kerontang.
Dewasa ini
muncul trend bisnis dengan sistem multi level marketing (MLM) dimana dalam
sistem penjualannya menerapkan sistem pemasaran berjenjang dengan membentuk jaringan
down line dan up line sehingga jual beli tersebut sudah tidak murni jual beli sharih
melainkan berupa jual beli bersyarat. MLM ini dalam prakteknya menjual
berbagai kebutuhan sampingan dalam artian kebutuhan sekunder bukan kebutuhan
primer, seperti produk-produk perawatan diri, obat-obatan dan makanan ringan.
Disamping MLM
tersebut, dewasa ini juga muncul sistem multi level marketing dengan menjadikan
jasa sebagai objek penjualannya, dimana dalam operasionalnya MLM jenis ini
menjadikan jasa sebagai keuntungan yang didapat seorang member bisnis ini.
Berbeda dengan MLM sebelumnya yang objeknya berupa barang, MLM ini menjadikan
jasa sebagai objeknya. MLM jenis ini dapat dijumpai misalnya Travel 21 yang
menjadikan jasa pemberangkatan umroh bagi anggota yang telah mencapai target
dan juga bonus-bonus wisata lainnya yang mana bonus-bonus tersebut yang
menjadikan daya tarik seseorang untuk bergabung dalam bisnis jenis ini.
Yang paling
mutakhir, dalam market level ini dapat dikenal suatu bisnis yang menjadikan
emas sebagai komuditi utamanya. Berbeda dengan dua MLM sebelumnya, bisnis ini
lebih menawarkan investasi dalam bidang ekploitasi emas untuk kemudian
memberikan deviden kepada investor. Yang menjadi menarik dalam bisnis ini untuk
diteliti adalah kadar emas itu sendiri yang cenderung tidak mengalami
penyusutan sehingga deviden yang diberikan kepada investor sangat tinggi
melebihi margin share bisnis sejenis. Bisnis seperti ini dapat dijumpai
misalkan Virgin Gold Mining Corporation (VGMC) yang belakangan ini sedang
ngetrend di Madura.
Ketiga hal ini
menjadikan peneliti tertarik untuk meneliti guna menempatkannya dalam proporsi
hukum Islam yang sebenarnya karena ia merupakan fenomena baru
dalam sistem perdagangan sebagai hasil kombinasi sistem perekonomian kapitalis
pemilik modal dan sistem sosialis pengekploitasi sumber daya alam dan sumber
daya manusia yang cenderung tidak terbatas.
NKRI sebagai
negara kesatuan sudah barang tentu didiami oleh berbagai suku bangsa, ras dan agama. Namun demikian umat Islam sebagai
mayoritas penduduk negeri ini dengan sendirinya menjadi aktor penting dalam
perputaran ekonomi di negeri ini, demikian juga umat Islam akan menjadi objek
terbanyak dari aktifitas ekonomi di negeri ini. Sehingga apabila terjadi
manipulasi dari pemegang otoritas ekonomi di negeri ini maka umat Islam menjadi
penderita yang paling banyak.
Oleh karena itu mutlak diperlukan responsibilitas yang tinggi dari kalangan
pemikir, pelaku dan perencana perekonomian dengan sistem Islami di negeri ini demi untuk menjawab
tantangan bisnis dalam era global dalam kajian hukum Islam pun juga untuk melindungi hak konsumen dalam
hal ini adalah terpenuhinya rasa keadilan pada diri mereka.
B.
Identifikasi dan Batasan Masalah
Dalam penelitian ini
permasalahan yang muncul dan berkembang seputar MLM sengaja difokuskan dalam
menganalisa MLM CNI sebagai pijakan penelitian dalam multi level marketing ini
dimana hal tersebut merupakan hasil penelitian peneliti terdahulu, sedang dalam
multi level marketing jasa, dapat dipertegas di sini bahwa objek penelitian
yang akan didalami adalah Travel 21, dimana penelitian ini difokuskan untuk
meneliti jasa sebagai objek multi level marketing. Sedangkan dalam investasi
emas sebagai objek multi level market, sengaja dipilih VGMC sebagai bentuk
investasi emas akan tetapi masih terdapat iming-iming level market didalamnya
selain terdapat unsure investasi saham.
Jadi, fokus penelitian
ini dapat dijabarkan sebagai berikut :
1.
MLM CNI, dimana ia merupakan produk peneliti terdahulu
sehingga ia bisa dijadikan tolok ukur analisa dua objek penelitian sesudahnya.
2.
Travel 21, karena ia merupakan bisnis dengan sistem
multi level marketing akan tetapi berbeda dengan MLM CNI karena dalam Travel 21
ini yang dijadikan objek marke nya adalah jasa bukan barang. Hal ini yang
membuat penelitian ini menjadi menarik.
3.
VGMC, karena ia merupakan bisnis dengan sistem
investasi emas dengan membuat jaringan melalui internet yang memberikan margin
share sangat tinggi.
Keseluruhan dari ketiga
focus ini akan dikaji dalam persfektif hukum Islam mencakup kajian dengan
metodologi hukum Islam dengan pendekatan maqasid al-syari’ah.
Demikian juga ketiga hal ini
akan dikaji tentang perluasan distorsi hukumnya, mengingat pelaku bahkan dalang
bisnis semacam ini bukan hanya umat Islam melainkan umat dari agama lain di
negara RI ini. Sehingga dengan kajian ini akan tercipta suatu perlindungan
hukum bagi pelaku bisnis ini baik muslim dan ataupun non muslim.
C.
Rumusan Masalah
Berangkat dari latar
belakang dan identifikasi masalah di atas, dapat dirumuskan masalah-masalah
dalam penelitian ini sebagai berikut :
1.
Apa dan bagaimana MLM CNI, Travel 21 dan Virgin Gold
Mining Corporation ( VGMC )
2.
Bagaimana aplikasi dan implikasi maqasid
al-syari’ah dan metode penetapan hukum para imam madzhab dalam ketiga trend
bisnis ini
3.
Bagaimana pandangan hukum Islam tentang ketiga trend
bisnis ini.
4.
Bagaimana pandangan hukum bisnis di Indonesia mengenai
ketiga trend bisnis ini.
5.
Mengapa ketiga trend bisnis ini penting untuk dikaji
D.
Tujuan dan Signifikansi Penelitian
a.
Tujuan
Penelitian disertasi ini dimaksudkan
untuk :
1.
Menjelaskan keberadaan multi level marketing CNI, Travel
21 dan VGMC beserta segala fasilitas yang terdapat didalamnya.
2.
Menjelaskan aplikasi dan implikasi maqasid
al-syari’ah serta metode penetapan hukum para imam madzhab dalam MLM CNI,
Travel 21 dan VGMC.
3.
Mendapatkan kepastian hukum tentang MLM CNI, Travel 21
dan VGMC ditinjau dari kajian hukum Islam.
4.
Mendapatkan kepastian hukum tentang MLM CNI, Travel 21
dan VGMC ditinjau darii kajiaan hukum bisnis di Indonesia
5.
Mendapatkan dasar-dasar argumentatif tentang urgensi
kajian tentang ketiga trend bisnis ini.
b.
Signifikansi
Sedangkan
mamfaat dari penelitian ini diharapkan hal-hal sebagai berikut :
1.
Memberikan informasi yang obyektif kepada masyarakat,
khususnya para pelaku bisnis-bisnis tersebut ditinjau dari hukum Islam,
demikian pula dalam kajian hukum bisnis di Indonesia sehingga lebih tercipta
rasaa keadilan dalam pelaksanaan bisnis modern seperti terutama bagi umat
muslim Indonesia.
2.
Sebagai sumbangan pemikiran dalam memperluas cakrawala
berfikir bagi umat Islam dalam bidang ekonomi terutama dalam merespon setiap
fenomina baru yang muncul di tengah masyarakat sebagai akibat pesatnya
perkembangan dunia bisnis.
3.
Sebagai pijakan bagi peneliti selanjutnya tentunya
dengan cakrawala yang lebih luas.
E.
Kerangka Teoritis
1.
Teori Maqasid al-Syari’ah
Al-Juwainy ( w. 478 H. )
dapat disebut sebagai ahli ushul fiqh pertama yang menekankan pentingnya
memahami maqasid al-syari’ah dalam menetapkan hukum.[2]
Bahkan menurut al-Fasi, maqasid
al-syari’ah dapat dijadikan sebagai dasar hukum yang abadi dan tidak dapat dipisahkan dari
sumber hukum Islam yang utama al-Qur’an dan al-Hadits.[3]
Berdasarakan hasil induksi
ulama’ ushul al-fiqh terhadap berbagai nash, untuk mewujudkan ke-mashlahat-an
dunia dan akhirat, terdapat lima masalah pokok yang diwujudkan dan dipelihara.
Kelima masalah pokok tersebut adalah ; agama, jiwa, keturunan, akal dan harta,
yang kemudian dikatagorikan sesuai kualitas kebutuhannya menjadi ad-dlaruriyat,
al-hajiyyat dan al-tahsiniyyat.[4]
Dilihat dari objeknya,
Muhammad Thahir bin ‘Ashur membagi maqasid al-syari’ah menjadi tiga
macam. Pertama, al-maqasid al ‘ammah (tujuan-tujuan ), yaitu sesuatu
yang dipelihara syara’ serta diushakan
untuk dicapai dalam berbagai bidang syari’at, seperti menegakkan dan
mempertahankan agama dari ancaman pihak musuh. Kedua, al-maqasid
al-khasshah, yaitu tujuan yang hendak dicapai syara’ dalam bidang tertentu,
seperti dalam bidang perkawinan, pidana dan ekonomi. Ketiga, al-maqasid
al-juz’iyah, yaitu tujuan yang hendak dicapai syara’ dalam menetapkan hukum
syar’ie, yang meliputi haram, wajib, sunnah, makruh, mubah, sebab, syarat atau
mani’, misalnya, shalat diwajibkan untuk memelihara agama, zina diharamkan
untuk memelihara kehormatan dan keturunan.[5]
Adapun as-Shatibi, membagi maqasid
al-syari’ah menjadi dua. Pertama, maqasid ashliyah, yaitu tujuan
yang bersifat pasti yang menjadi keharusan bagi mukallaf untuk menegakkannya,
karena menjadi factor terwujudnya kemaslahatan umum secara mutlak dan diakui oleh seluruh agama serta
tidak terbatas pada waktu, tempat, keadaan dan sebagainya, misalnya, manusia
diperintahkan melindungi jiwa demi mempertahankan hidupnya. Kedua, maqasid
thabi’ah, yaitu tujuan yang menjadi pendukung bagi maqasid ashliyah, misalnya
manusia diberi syahwat makan dan minum jika lapar dan haus agar supaya ia
bergerak dan berusaha untuk mendapatkan makan dan minum sehingga ia mampu
menegakkan agama.[6]
Dalam kaitannya dengan maqasid al-syari’ah ini, AI‑Syatibi membagi ijtihad menjadi dua bentuk, yaitu ijtihad
istinbathi dan ijtihad tatbiqi.
ijtihad istinbathi dilakukan untuk mengetahui secara teliti inti masalah
yang dikandung oleh nash. Inti permasalahan ini selanjutnya dijadikan
tolok ukur terhadap suatu kasus yang akan ditentukan hukumnya. Kemudian untuk
menerapkan inti masalah (ide hukum) yang terdapat dalam nash itu kepada suatu
permasalahan yang nyata diperlukan ijtihad
tathbiqi atau disebut tahqiq almanath.
Ijtihad inilah yang berperan penting dalarn mengantisipasi perubahan sosial
sepanjang zaman dan tempat dan tidak akan terputus sampai akhir zaman, karena
terkait dengan penerapan ide‑ide nash ke dalam berbagai persoalan kehidupan.
Dalam persoalan ijtihad tathbiqi, kajian
yang dilakukan seorang mujtahid tidak lagi berkaitan dengan nash, melainkan
obyek hukum tempat ide hukum itu akan diterapkan yang tidak terlepas dari
berbagai kondisi yang mengitarinya. Karena itu, dalam menerapkan suatu ayat
terhadap permasalahan baru, diperlukan pemahaman dan analisis yang mendalam
terhadap kandungan ayat tersebut. [7]
Maslahah menjadi salah satu
metode istinbat hukum Islam, akan
tetapi dikalangan ahli ushul terjadi perbedaan pandangan di antaranya
adalah Imam Malik mengatakan bahwa maslahah
mursalah adalah ke‑maslahat‑an
yang tidak ada pernbatalannya dari nash dan juga tidak disebutkan secara jelas
oleh nash akan tetapi maslahah mursalah ini
tidak boleh bertentangan dengan nash sebagai sumber pokok, [8] sementara ulama lain yaitu al‑Thufi
menyatakan bahwa maslahah mursalah merupakan
hujjah terkuat yang secara mandiri
dapat dijadikan landasan hukum sekali pun bertentangan dengan nash.[9]
Maslahah dapat saja
diterapkan dalam hal perkara juz yyat
(cabang) yang tidak mempunyai dalil khusus, tentu setelah benar‑benar
dikaji bahwa memang tidak ada dalil khusus. Tetapi jika telah ada dalil khusus
maka tidak ada peluang untuk menggunakan maslabah.
Maslahah mursalah dapat dilakukan dengan syarat: maslahah sejalan dengan tujuan syara', maslahah yang diambil sesuai dengan kaidah usuhl dan maslahah sangat urgen dan menyangkut
kepentingan kaum muslimin, tidak bersifat individu atau golongan.[10]
Ibn Qayyim al‑Jawziyah, seorang ulama' Hanbali
sebagaimana dikutip oleh Zayd bahkan dengan tegas mengatakan tidak ada
perbuatan yang mengandung maslahah sekaligus
mafsadah dengan kadar yang sama.
Jika, salah satunya dianggap lebihi layak untuk dikerjakan, berarti maslahah‑nya lebih unggul. Sebaliknya, jika meninggalkan salah satunya lebih
baik, berarti mafsadah‑nya yang lebih
besar. Di samping itu, dalam penelitiannya tidak ada dalil yang berbicara
tentang suatu perbuatan yang memiliki kadar maslahah
dan mafsadab seimbang, sebab maslahah dan mafsadah adalah dua kubu yang berseberangan, sehingga mustahil
untuk bersatu. Jika keduanya bertemu, dapat dipastikan bahwa salah satunya
lebih unggul. Dengan demikian, maka hukum didasarkan pada yang lebih unggul
tersebut. [11]
2.
Metode Penetapan Hukum Islam
Dalam
menetapkan hukum dalam suatu realita empiris, ulama’ ushul fiqh menempuh empat
metode, yaitu :
a.
Metode qiyas
Dalam kesimpulannya,
Dr. Wahbah Zuhaili menyebutkan bahwa qiyas adalah menganalogikan suatu kasus
yang tidak ada nash hukumnya kepada kasus yang sudah ada nash hukumnya karena
‘illat hukumny sama.[12]
Qiyas mengandung rukun
dan syarat, yaitu : pokok, ialah kasus yang sudah ada nash hukumnya, cabang,
yaitu kasus baru yang belum ada nash hukumnya, dalam hal ini adalah objek
penelitian ini yaitu MLM, Travel 21 dan VGMC, hukum asal, ialah hukum
suatu kasus ( pokok ) yang sudah ditetapkan oleh nash dan ditatapkan pula
kepada “cabang” karena ada persamaan ‘illat hukum, ‘illat, yaitu suatu
sifat yang menjadi dasar hukum pada pokok, dan sifat ini pula yang harus ada
pada cabang.
Terdapat dua kelompok
ulama’ dalam kehujjahan qiyas sebagai metode penetapan hukum yaitu , pertama
kelompok yang menetapkan qiyas sebagai dalil hukum. Kelompok ini didukung
oleh mayorits ulama ushul fiqh. Kelompok ini mengatakan bahwa qiyas adalah
merupakah dalil hukum sebagaimana al-Qur’an, Hadits dan ijma’ ulama’. Kedua,
adalah kelompok yang mengngkari qiyas. Kelompok ini dimotori oleh madzhab dhahiriyah,
nidlamiyah dan syi’ah. Kelompok berargumentasi dengan kandungan Q.S.
al-An’am 59, bahwa tidak sesuatupun yang terlewat dalam al-Qur’an ini sehingga
tidak dibenarkan membuat metode lain selain al-Qur’an dan as-Sunnah.
b.
Metode Istihsan
Istihsan menurut bahasa adalah : menganggap baik terhadap
sesuatu, sedangkan menurut ulama’ ushul, istihsan adalah pindahnya
seorang mujtahid dari petunjuk qiyas jali kepada petunjuk qiyas khafi atau
pindah dari hukum kulli kepada hukum juz’iy karena ada dalil yang sangat kuat
yang mengharuskan mujtahid tersebut pindah.[13]
Dalam kehujjahan qiyas ini
sebagai salil hukum para ulama cenderung sepakat hanya sebagian syafi’iyah saja
yang menentang karena menurut mereka qiyas saja sudah cukup sebagai dalil
hukum, maka untuk apa dibutuhkan qiyas. Namun menurut hemat penulis, qiyas ini
sangat dibutuhkan sebagai metode pengambilan hukum karena dalam penelitian ini
akan mengurai tentang aplikasi bisnis modern yang tentunya banyak menumbuhkan
kajian-kajian mendalam tentang sesuatu yang benar-benar baru dan berkemungkinan
alasan yang dipakai penetapan hukumnya sangat rigit atau sulit dijumpai
sehingga membutuhkan analisa mendalam dengan istihsan.
c.
Metode Istishhab
Istishhab secara
bahasa adalah menghitung sama sesuatu dengan lainnya, sedangkan menurut istilah
adalah memberlakukan hukum yang terdahulu dalam suatu hal sebelum ada dalil
yang menunjukkan perubahan hal itu.[14]
Dari devinisi ini dapat
difahami bahwa istishhab adalah merupakan kodifikasi hukum terhadap peristiwa yang terdahulu untuk
selalu ditetapkan sebagai hukum peristiwa tersebut sebelum ada petunjuk yang
menyatakan bahwa dalil dari peristiwa itu telah berubah. Dengan demikian dapat diketahui bahwa penetapan hukum
tersebut bukan karena tidak ada hal yang mewajibkan hukumnya melainkan karena
kewajiban melaksanakan hukum itu sendiri karena masih berlaku.
Dalam kajian mengenai
bisnis kontemporer, pemakaian istishhab ini sebagai dalil hukum akan
mengalami kesulitan yang luar bisaa, oleh karena itu dalam analisa terhadap bisnis
modern, peran istishhab ini bisa dikatakan sangat sedikit.
d.
Metode al-Mashlahah al-Mursalah ( Istishlah )
Sebelum memasuki maslahah
dalam arti tekhnis ( Istishlah ), akan
dijelaskan dahulu konsep maslahah secara
umum dalam syari’at Islam, maslahah secara
ethimologis ialah kata benda infinitif dari akar kata shalaha kata
kerja yang bisaa digunakan untuk menyatakan suatu kebaikan, benar dan
shaleh, lawan dari kata fasada. Kata ini juga berarti sesuatu yang mendatangkan
kebaikan dan menolak kerusakan.
Dalam. perkembangan lebih lanjut, kata, ini menjadi
sebuah konsep penalaran yang selalu dihubungkan dengan imam. Malik sebagai
ulama' yang mula‑mula mengembangkannya, walaupun pada, dasarnya konsep ini
sudah berkembang pada periode awal pertumbuhan hukum Islam.
AI‑Ghazall mengartikannya sebagai suatu ekspresi untuk
mencari sesuatu yang berguna atau mencegah timbulnya sesuatu yang keji. Pada kesempatan
lain ia menjelaskan bahwa maslahah ialah
pemeliharaan ideal moral syari'ah
dari penciptanya, yang terdiri dari lima hal pokok yaitu :memelihara agama, intensitas jiwa,
akal, keturunan dan harta benda. Maka setiap sesuatu yang menjamin lima
prinsip ini adalah maslahah dan kebalikannya
adalah mafsadah.[15]
Dalam kehujjahan maslahah ini sebagai dalil hukum,
para ulama’ mengapresiasinya dengan baik dan berargumentasi bahwa semua hukum
syari’ah adalah didasarkan pada motivasi dan alasan-alasan yang harus
dikembalikan kepada kemaslahatan atau menolak kerusakan pada manusia, baik
dalam bentuk perintah atau larangan, karena syari’ah tidak lain hanya untuk
kemaslahatan hambaNya di dunia dan di akhirat secara keseluruhan.[16]
Alasan kedua tentang urgensi istislah sebagai
metode pengambilan hukum ialah wajib hukumnya untuk selalu memberikan ketetntuan
hukum terhadap masalah-masalah aktul. Hal ini mutlak diperlukan agar supaya
agama Islam sebagai agama yang kaffah ini tidak diinggalkan uleh umat manusia
karena dianggap stagnan, tidak bisa menyelesaikan masalah hukum penganutnya
dengan baik.
Maka disinilah letak keluasan dan keluesan istislah
sebagai metode penetapan hukum, karena akan selalu sejalah dengan maqasid
al-syari’ah dan akan selalu memelihara ideal moral syari’ah baik yang daruuriyat,
hajiyat ataupun tahsiniyat.
3.
Kebijakan-kebijakan
pemerintah tentang aplikasi bisnis modern dalam tata hukum bisnis di Indonesia.
Perluasan distorsi
hukum mutlak diperlukan mengingat pelaku bisnis ini bukan hanya dari kalangan
kaum muslimin Indonesia saja, melainkan dari penganut agama lain, sehingga
apabila tolok ukur yg dipergunakan hanya hukum Islam saja, maka secara moral
hanya berlaku bagi umat Islam, walaupun secara formal belum ada jaminan
kepastian hukum.
Oleh karena itu mutlak diperlukan kajian dalam persfektif hukum positif di
Indonesia, karena apabila dalam penelitian ini dijumpai hal-hal yang melanggar
hukum terutama hukum bisnis, maka secara formal dapat dijatuhkan sanksi hukum
bagi pihak yang melanggar hukum tersebut.
F.
Metode dan pendekatan Penelitian
1.
Jenis Penelitian
Penelitian
ini termasuk penelitian pustaka (library
research),[17]
yakni peneliti mengacu dan menelaah pada data‑data karya ilmiah berupa
kitab-kitab abad pertengahan dan kitab‑kitab karya pernikir muslim yang relevan
yang ada hubungannya dengan pokok bahasan yakni, tentang maqasid al-syari’ah dan metode
penetapan hukum Islam. Kitab‑kitab tersebut antara lain adalah al‑Shakhshiyyah al‑Isamiyah juz 3 karya
Taqiyu al‑Din al Nabhani, Muqaddimah al‑Dustur
karya Taqiyu al‑Din al Nabhani. Sedang kitab‑kitab usul al‑fiqh karya
intelektual muslim antara lain kitab Ushul al-Fiqh al Islami yang ditulis
oleh Wahbah Zuhayli; al‑Shatibi dengan karyanya al-Muwafaqat fi Ushul
al-Ahkam. al‑Maqasid al‑'Ammah karya
Yusuf Hamid al‑'Alim, Maqasid al-Syari’ah
al-Islamiyah karya Muhammad al‑Tahir 'Ashur, dan referensi-referensi yang
berkenaan dengan filsafat hukum Islam..
Disamping
sumber dari kitab-kitab klasih tersebut, muthlak diperlukan sumber primer dari
ketiga bentuk aplikasi bisnis MLM, Travel 21 dan VGMC, sehingga terhindar dari
perihla menyikapi sesuatu diluar keadaan yang sebenarnya.Tidak kalah pentingnya
juga sumber utama dan utama pokok kajian hukum Islam yaitu al-Qur’an dan
al-Sunnah.
2.
Metode Analisa Data
Data
yang terkait dengan maqasid al-syari’ah dan
mentode penetapan hukum Islam akan
dianalisis secara mendalam. Maksudnya, peneliti tidak hanya membaca, mendisplay
dan menyerap data tersebut, namun
peneliti akan melangkah lebih jauh dengan melakukan studi kritis yakni
pembacaan secara reflektif.[18]
Pernbacaan secara reflektif menuntut pengkajian mendalarn dengan menilai dan
mempertanyakan, dan kalau perlu menggugat, bahkan menolak terhadap materi yang
ada pada pemikiran maqasid al-syari’ah dan
mentode penetapan hukum Islam. Namun
juga tidak menutup kernungkinan untuk mengapresiasi pernikiran-pemikiran
tersebut.
Penulis
dalarn membaca data mengacu pada pendapat Karl R. Ropper yang mengatakan, bahwa
setiap monopoli pengarang dan penggagasnya yang masuk dalarn dunia pengetahuan
obyektif, dia menjadi teks yang otonorn dan tidak lagi tergantung pada orang
yang semula menggagas dan mengeluarkannya. Interpetasi terhadap sesuatu yang
telah diumurnkan, dapat saja berbeda dari apa yang semula diniatkan dan
dimaksudkan oleh penggagasnya.[19]
Hal
ini karena, apapun penafsiran orang atas sebuah teks dapat dibenarkan.
Penafsiran itu menjadi hak dari setiap individu sesuai dengan perspektif dan
kepentingannya sendiri‑sendiri, tanpa harus terikat pada pemikiran dan kemauan
penggagasnya. Masalah kebenaran atau kesesuaian tafsir dengan maksud dan makna
yang terkandung dari teks yang ditafsirkan bisa diabaikan.[20]
Melakukan
pembacaan seperti di atas perlu data yang berupa hasil karya maqasid al-syari’ah dan mentode penetapan hukum Islam secara
memadai, juga berupa pendekatan yang dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan pemikiran epistemologi hukum Islam (ushul fiqh dan kaidah
fiqh).
G.
Sistematika Pembahasan
Disertasi ini akan dibagi ke
dalarn enam bab. Bab satu merupakan pendahuluan dari penelitian ini, yang
mencakup latar belakang masalah, identiflkasi dan batasan masalah, tujuan
penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teoritik, penelitian terdahulu,
sistematika pembahasan dan outline penelitian.
Bab dua adalah perspektif
teori, yang berbicara tentang beberapa pandangan ulama' dan para sarjana
tentang maqasid al-syari’ah dan metodologi penetapan hukum Islam
terhadap masalah-masalah kontemporer, yang telah disepakati penggunaannya
terutama yang berkenaan dengan bisnis modern terutama MLM, Travel 21 dan VGMC.
Bab tiga berupa kajian
teoritis tentang aplikasi ketiga bisnis modern ini dalam persfektif hukum bisnis di
Indonesia.
Bab empat adalah berisi
Refleksi tentang Multi Level Marketing, Travel 21 dan Virgin Gold Mining
Corporation ( VGMC) beserta elemen-elemn yang terdapat di dalamnya.
Bab lima adalah konsep maqasid al-syari’ah dan metode penetapan hukum Islam secara konfrehensif, serta muatan hukum
positif dalam aktualisasi ketiga trend bisnis di atas. Diharapkan bab ini akan bisa menyajikan secara
komprehensip data yang diperoleh melalui penelusuraan secara kontinyu dalam
berbagai pustaka yang terkait.
Bab lima adalah tentang
implikasi dan aplikasi maqasid
al-syari’ah dan metode penetapan hukum Islam dalam bisnis modern MLM, Travel 21 dan VGMC,
serta bagaimana hukum positif menyikapi ketiga trend bisnis ini.
Bab enam adalah berisi
kesimpulan dan saran.
Sistematika pembahasan ini
dapat berubah sesuai bimbingan promoter dan situasi atau kondisi yang
melingkupi.
DAFTAR PUSTAKA
Mahmud Abu Saud, Garis-Garis
Besar Ekonomi Islam, Jakarta : Gema Insani Press, 1992
Al Juwainy, Al Burhan fi
Ushul al Fiqh, Kairo : Dar al Anshor, 1400 H.
Al Fasi, Maqaasid
al-Syari’ah al-Islamiyah wa Makaarimuha, t.t. : maktabah al-Wihdah, t.t.
Abd. Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul al-Fiqh, t.t. : dar al-Kuwaitiyyah, 1968
A.
Azis Dahlan dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta
: PT. Ikhtiyar Baru Van Hoeve, 2003
Abi
Ishak al-Syatibi, Al Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut : Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.
Muhammad
Abu Zahrah, Ushul al Fiqh, t.t. : Dar al-Fikr al-Arabiyah, t.t.
Najm
al-Din al-Thufi, Risalah Maslahah, dalam al-Manaar, vol. 9, juz.
10, ed. Muhammad Rasyid Ridla, Mesir : al-Manaar, 1906
Dr.
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al Fiqh al Islami, Beirut : Dar al-Fikr, 1986
Abudin
Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : Grafindo Persada, 1999
Kasianto,
Analisis Wacana dan Teoritis penafsiran Teks, Jakarta : Raja Grafindo,
2003
[3] Al-Fasi, Maqaasid
al-Syari’at al-Islamiyah wa Makarimuha, ( t.t. : Maktabat al-Wihdat
al-Arabiyah, t.t. ), 512.
[5] A. Aziz
Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, ( Jakarta : PT. Ikhtiar BAru Van
Hoeve, 2003 ), 4, 1109.
[6] Abi Ishak
al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi ushul al-syari’ah, ( Beirut : dar al-Kutub
al-Ilmiyah, t.t. ), II, 134-6
[9] Najm
al-Din al-Thufi, “Risalah Maslaha” dalam al-Manaar, vol.9, juz
10, ed. Muhammad Rasyid Rida, ( Mesir ; al-Manaar, 1906), 753
[17]
Abudin Nata membedakan
kualifikasi suatu penelitian itu bersifat literer (library research) atau bersifat lapangan (field research) dengan berpedornan pada
bagairnana data, bahan atau obyek yang diteliti. Suatu penelitian dapat
digolongkan dalarn katagori library
research, bila data yang dihimpun berupa bahan‑bahan tertulis seperti:
manuskrip, buku, majalah, surat kabar dan lain‑lain. Sedangkan penelitian yang
dikatagorikan sebagai penelitian fleld research
jika menggunakan informasi yang diperolch dari sasaran penelitian
(responden atau inforinen) melalul instrumen pengumpul data seperti: angket,
wawancara, observasi dan sebagainya. Lebih jelas lihat dan baca Abudin Nata, Metodologi Stud! Islam (Jakarta:
Graffindo Persada, 1999), 125.
[18]
Studi kritis di sini mengacu
pada definisi berfikir kritis (critical
thinking) yang dilontarkan oleh Ennis R. yang berupa, "Reasonable reflective thinking focused on deciding what to
believe or do." (berflkir reflektif yang dapat dinalar dengan
difokuskan untuk membuat keputusan atas apa yang diyakini, atau yang man
dikerjakan). Ennis, R. 0ifical tbinA!ng.‑
"at is it? Proceedings of the Forty‑Eighth Annual Meeting of the
Philosophy of Education Society Denver, Colorado, (March1992), 27‑30.
[19]
KasiYanto, 'Analisis Wacana
dan Teoritis Penafsiran Teks" dalarn Anallsis
Data Penclitian Kualitatif, ed. Burhan Bungin (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003), 150.