Bagian ini berisi hasil-hasil ijtihad mengenai apa yang saya ketahui dan saya tuliskan. semuanya menerima kritik dan saran perbaikan.

Sabtu, 09 Juli 2016

APLIKASI BISNIS MODERN
DALAM PERSFEKTIF HUKUM DI INDONESIA
A.    Latar Belakang Masalah
Kehidupan yang dikehendaki oleh Islam sebagai suatu ideologi adalah kehidupan yang seimbang antara kebutuhan duniawi dan kebutuhan ukhrowi, seimbang antara phisik dan phisikis. Kehidupan dunia dijadikan dasar atau pijakan bagi kehidupan akhirat, dalam artian bahwa urusan dunia dikejar dalam rangka mengejar kehidupan akhirat, dan kehidupan akhirat dicapai dengan dunia. Jadi orang yang baik adalah orang yang meraih keduanya secara proporsional, secara seimbang, karena dunia adalah alat menuju akhirat, jangan dibalik, yakni akhirat dikorbankan untuk urusan dunia.
Dewasa ini perkembangan bisnis sangat pesat sekali bahkan cenderung tidak terkendali baik segi moral ataupun bentuk aplikasinya yang seakan-akan mengabaikan nilai-nilai formal dalam perekonomian itu sendiri, baik berupa keadilan perikemanusiaan ataupun nilai pokok ajaran agama Islam.
Keberadaan tersebut minimal, pertama, dilatarbelakangi oleh pertikaian tiga sistem perekonomian  yang senantiasa bertarung dalam kancah perekonomian dewasa ini. Ketiga sistem tersebut adalah ; satu, sistem ekonomi Islam yang berlandaskan pada trianggel arrangement yaitu Allah Swt., sebagai pemilik,  manusia sebagai pengelola dan sumber daya alam untuk dikelola oleh manusia sesuai dengan kehendak mutlak Allah Swt. Dua, sistem kapital yang didasarkan kepada dua sisi yaitu manusia yang mengusahakan untuk megekploitasi sebanyak-banyaknya sumber daya alam untuk kemudian ditekankan kepada pencapaian profit sebanyak-banyaknya dengan modal yang se-sedikit mungkin. Tiga, sistem ekonomi marxis sosialis yang mengekploitasi sebesar-besarnya sumber daya manusia dan sumber daya alam sebagai mesin perekonomian untuk mendapatkan sebanyak mungkin keuntungan produksi.
Kedua, akibat dari proses alienasi atau pemisahan antara aspek positif dan aspek normative baik dalam kajian suatu perekonomian ataupun tataran pelaksanaannya. Seharusnya kedua aspek ini tidak terpisahkan sehingga tujuan-tujuan mulia perekonomian untuk memenuhi hajat hidup manusia dapat tercapai tanpa ada kepincangan ekploitasi baik itu sumber daya alam ataupun sumber daya manusia itu sendiri.[1]
Idealnya adalah : ajaran agama Islam dijadikan sebagai sumber aspek normative yang tidak terpisahkan dari aspek positif perekonomian itu sendiri. Aspek positif disini adalah unsure positif dalam kegiatan ekonomi yakni usaha keras secara sendiri atau bersama-sama demi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dimana pada finalnya nanti diharapkan mengahsilkan kelompok masyarakat yang damai sejahtera dhahir batin, bukan malah melahirkan masyarakat yang berkepribadian pecah ( split personality ), sejahtera secara dlahir, secara materi namun batinnya sangat menderita, kering kerontang.
Dewasa ini muncul trend bisnis dengan sistem multi level marketing (MLM) dimana dalam sistem penjualannya menerapkan sistem pemasaran berjenjang dengan membentuk jaringan down line dan up line sehingga jual beli tersebut sudah tidak murni jual beli sharih melainkan berupa jual beli bersyarat. MLM ini dalam prakteknya menjual berbagai kebutuhan sampingan dalam artian kebutuhan sekunder bukan kebutuhan primer, seperti produk-produk perawatan diri, obat-obatan dan makanan ringan.
Disamping MLM tersebut, dewasa ini juga muncul sistem multi level marketing dengan menjadikan jasa sebagai objek penjualannya, dimana dalam operasionalnya MLM jenis ini menjadikan jasa sebagai keuntungan yang didapat seorang member bisnis ini. Berbeda dengan MLM sebelumnya yang objeknya berupa barang, MLM ini menjadikan jasa sebagai objeknya. MLM jenis ini dapat dijumpai misalnya Travel 21 yang menjadikan jasa pemberangkatan umroh bagi anggota yang telah mencapai target dan juga bonus-bonus wisata lainnya yang mana bonus-bonus tersebut yang menjadikan daya tarik seseorang untuk bergabung dalam bisnis jenis ini.
Yang paling mutakhir, dalam market level ini dapat dikenal suatu bisnis yang menjadikan emas sebagai komuditi utamanya. Berbeda dengan dua MLM sebelumnya, bisnis ini lebih menawarkan investasi dalam bidang ekploitasi emas untuk kemudian memberikan deviden kepada investor. Yang menjadi menarik dalam bisnis ini untuk diteliti adalah kadar emas itu sendiri yang cenderung tidak mengalami penyusutan sehingga deviden yang diberikan kepada investor sangat tinggi melebihi margin share bisnis sejenis. Bisnis seperti ini dapat dijumpai misalkan Virgin Gold Mining Corporation (VGMC) yang belakangan ini sedang ngetrend di Madura.
Ketiga hal ini menjadikan peneliti tertarik untuk meneliti guna menempatkannya dalam proporsi hukum Islam yang sebenarnya karena ia merupakan fenomena baru dalam sistem perdagangan sebagai hasil kombinasi sistem perekonomian kapitalis pemilik modal dan sistem sosialis pengekploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang cenderung tidak terbatas.
NKRI sebagai negara kesatuan sudah barang tentu didiami oleh berbagai suku bangsa, ras  dan agama. Namun demikian umat Islam sebagai mayoritas penduduk negeri ini dengan sendirinya menjadi aktor penting dalam perputaran ekonomi di negeri ini, demikian juga umat Islam akan menjadi objek terbanyak dari aktifitas ekonomi di negeri ini. Sehingga apabila terjadi manipulasi dari pemegang otoritas ekonomi di negeri ini maka umat Islam menjadi penderita yang paling banyak.
Oleh karena itu mutlak diperlukan responsibilitas yang tinggi dari kalangan pemikir, pelaku dan perencana perekonomian dengan sistem Islami di negeri ini demi untuk menjawab tantangan bisnis dalam era global dalam kajian hukum Islam pun juga untuk melindungi hak konsumen dalam hal ini adalah terpenuhinya rasa keadilan pada diri mereka.
B.     Identifikasi dan Batasan Masalah
Dalam penelitian ini permasalahan yang muncul dan berkembang seputar MLM sengaja difokuskan dalam menganalisa MLM CNI sebagai pijakan penelitian dalam multi level marketing ini dimana hal tersebut merupakan hasil penelitian peneliti terdahulu, sedang dalam multi level marketing jasa, dapat dipertegas di sini bahwa objek penelitian yang akan didalami adalah Travel 21, dimana penelitian ini difokuskan untuk meneliti jasa sebagai objek multi level marketing. Sedangkan dalam investasi emas sebagai objek multi level market, sengaja dipilih VGMC sebagai bentuk investasi emas akan tetapi masih terdapat iming-iming level market didalamnya selain terdapat unsure  investasi saham.
Jadi, fokus penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut :
1.      MLM CNI, dimana ia merupakan produk peneliti terdahulu sehingga ia bisa dijadikan tolok ukur analisa dua objek penelitian sesudahnya.
2.      Travel 21, karena ia merupakan bisnis dengan sistem multi level marketing akan tetapi berbeda dengan MLM CNI karena dalam Travel 21 ini yang dijadikan objek marke nya adalah jasa bukan barang. Hal ini yang membuat penelitian ini menjadi menarik.
3.      VGMC, karena ia merupakan bisnis dengan sistem investasi emas dengan membuat jaringan melalui internet yang memberikan margin share sangat tinggi.
Keseluruhan dari ketiga focus ini akan dikaji dalam persfektif hukum Islam mencakup kajian dengan metodologi hukum Islam dengan pendekatan maqasid al-syari’ah.
Demikian juga ketiga hal ini akan dikaji tentang perluasan distorsi hukumnya, mengingat pelaku bahkan dalang bisnis semacam ini bukan hanya umat Islam melainkan umat dari agama lain di negara RI ini. Sehingga dengan kajian ini akan tercipta suatu perlindungan hukum bagi pelaku bisnis ini baik muslim dan ataupun non muslim.
C.    Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang dan identifikasi masalah di atas, dapat dirumuskan masalah-masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
1.      Apa dan bagaimana MLM CNI, Travel 21 dan Virgin Gold Mining Corporation ( VGMC )
2.      Bagaimana aplikasi dan implikasi maqasid al-syari’ah dan metode penetapan hukum para imam madzhab dalam ketiga trend bisnis ini
3.      Bagaimana pandangan hukum Islam tentang ketiga trend bisnis ini.
4.      Bagaimana pandangan hukum bisnis di Indonesia mengenai ketiga trend bisnis ini.
5.      Mengapa ketiga trend bisnis ini penting untuk dikaji
D.    Tujuan dan Signifikansi Penelitian
a.       Tujuan
Penelitian disertasi ini dimaksudkan untuk :
1.      Menjelaskan keberadaan multi level marketing CNI, Travel 21 dan VGMC beserta segala fasilitas yang terdapat didalamnya.
2.      Menjelaskan aplikasi dan implikasi maqasid al-syari’ah serta metode penetapan hukum para imam madzhab dalam MLM CNI, Travel 21 dan VGMC.
3.      Mendapatkan kepastian hukum tentang MLM CNI, Travel 21 dan VGMC ditinjau dari kajian hukum Islam.
4.      Mendapatkan kepastian hukum tentang MLM CNI, Travel 21 dan VGMC ditinjau darii kajiaan hukum bisnis di Indonesia
5.      Mendapatkan dasar-dasar argumentatif tentang urgensi kajian tentang ketiga trend bisnis ini.
b.      Signifikansi
Sedangkan mamfaat dari penelitian ini diharapkan hal-hal sebagai berikut :
1.      Memberikan informasi yang obyektif kepada masyarakat, khususnya para pelaku bisnis-bisnis tersebut ditinjau dari hukum Islam, demikian pula dalam kajian hukum bisnis di Indonesia sehingga lebih tercipta rasaa keadilan dalam pelaksanaan bisnis modern seperti terutama bagi umat muslim Indonesia.
2.      Sebagai sumbangan pemikiran dalam memperluas cakrawala berfikir bagi umat Islam dalam bidang ekonomi terutama dalam merespon setiap fenomina baru yang muncul di tengah masyarakat sebagai akibat pesatnya perkembangan dunia bisnis.
3.      Sebagai pijakan bagi peneliti selanjutnya tentunya dengan cakrawala yang lebih luas.
E.     Kerangka Teoritis
1.      Teori Maqasid al-Syari’ah
Al-Juwainy ( w. 478 H. ) dapat disebut sebagai ahli ushul fiqh pertama yang menekankan pentingnya memahami maqasid al-syari’ah dalam menetapkan hukum.[2] Bahkan menurut al-Fasi,  maqasid al-syari’ah dapat dijadikan sebagai dasar hukum  yang abadi dan tidak dapat dipisahkan dari sumber hukum Islam yang utama al-Qur’an dan al-Hadits.[3]
Berdasarakan hasil induksi ulama’ ushul al-fiqh terhadap berbagai nash, untuk mewujudkan ke-mashlahat-an dunia dan akhirat, terdapat lima masalah pokok yang diwujudkan dan dipelihara. Kelima masalah pokok tersebut adalah ; agama, jiwa, keturunan, akal dan harta, yang kemudian dikatagorikan sesuai kualitas kebutuhannya menjadi ad-dlaruriyat, al-hajiyyat dan al-tahsiniyyat.[4]
Dilihat dari objeknya, Muhammad Thahir bin ‘Ashur membagi maqasid al-syari’ah menjadi tiga macam. Pertama, al-maqasid al ‘ammah (tujuan-tujuan ), yaitu sesuatu yang dipelihara syara’  serta diushakan untuk dicapai dalam berbagai bidang syari’at, seperti menegakkan dan mempertahankan agama dari ancaman pihak musuh. Kedua, al-maqasid al-khasshah, yaitu tujuan yang hendak dicapai syara’ dalam bidang tertentu, seperti dalam bidang perkawinan, pidana dan ekonomi. Ketiga, al-maqasid al-juz’iyah, yaitu tujuan yang hendak dicapai syara’ dalam menetapkan hukum syar’ie, yang meliputi haram, wajib, sunnah, makruh, mubah, sebab, syarat atau mani’, misalnya, shalat diwajibkan untuk memelihara agama, zina diharamkan untuk memelihara kehormatan dan keturunan.[5]
Adapun as-Shatibi, membagi maqasid al-syari’ah menjadi dua. Pertama, maqasid ashliyah, yaitu tujuan yang bersifat pasti yang menjadi keharusan bagi mukallaf untuk menegakkannya, karena menjadi factor terwujudnya kemaslahatan umum secara  mutlak dan diakui oleh seluruh agama serta tidak terbatas pada waktu, tempat, keadaan dan sebagainya, misalnya, manusia diperintahkan melindungi jiwa demi mempertahankan hidupnya. Kedua, maqasid thabi’ah, yaitu tujuan yang menjadi pendukung bagi maqasid ashliyah, misalnya manusia diberi syahwat makan dan minum jika lapar dan haus agar supaya ia bergerak dan berusaha untuk mendapatkan makan dan minum sehingga ia mampu menegakkan agama.[6]
Dalam kaitannya dengan maqasid al-syari’ah ini, AI‑Syatibi membagi ijtihad menjadi dua bentuk, yaitu  ijtihad istinbathi dan ijtihad tatbiqi. ijtihad istinbathi dilakukan untuk mengetahui secara teliti inti masalah yang dikandung oleh nash. Inti permasalahan ini selanjutnya dijadikan tolok ukur terhadap suatu kasus yang akan ditentukan hukumnya. Kemudian untuk menerapkan inti masalah (ide hukum) yang terdapat dalam nash itu kepada suatu permasalahan yang nyata diperlukan ijtihad tathbiqi atau disebut tahqiq almanath. Ijtihad inilah yang berperan penting dalarn mengantisipasi perubahan sosial sepanjang zaman dan tempat dan tidak akan terputus sampai akhir zaman, karena terkait dengan penerapan ide‑ide nash ke dalam berbagai persoalan kehidupan. Dalam persoalan ijtihad tathbiqi, kajian yang dilakukan seorang mujtahid tidak lagi berkaitan dengan nash, melainkan obyek hukum tempat ide hukum itu akan diterapkan yang tidak terlepas dari berbagai kondisi yang mengitarinya. Karena itu, dalam menerapkan suatu ayat terhadap permasalahan baru, diperlukan pemahaman dan analisis yang mendalam terhadap kandungan ayat tersebut. [7]
Maslahah menjadi salah satu metode istinbat hukum Islam, akan tetapi dikalangan ahli ushul terjadi perbedaan pandangan di antaranya adalah Imam Malik mengatakan bahwa maslahah mursalah adalah ke‑maslahat‑an yang tidak ada pernbatalannya dari nash dan juga tidak disebutkan secara jelas oleh nash akan tetapi maslahah mursalah ini tidak boleh bertentangan dengan nash sebagai sumber pokok, [8]  sementara ulama lain yaitu al‑Thufi menyatakan bahwa maslahah mursalah merupakan hujjah terkuat yang secara mandiri dapat dijadikan landasan hukum sekali pun bertentangan dengan nash.[9]
Maslahah dapat saja diterapkan dalam hal perkara juz yyat (cabang) yang tidak mempunyai dalil khusus, tentu setelah benar‑benar dikaji bahwa memang tidak ada dalil khusus. Tetapi jika telah ada dalil khusus maka tidak ada peluang untuk menggunakan maslabah. Maslahah mursalah dapat dilakukan dengan syarat: maslahah sejalan dengan tujuan syara', maslahah yang diambil sesuai dengan kaidah usuhl dan maslahah sangat urgen dan menyangkut kepentingan kaum muslimin, tidak bersifat individu atau golongan.[10]
Ibn Qayyim al‑Jawziyah, seorang ulama' Hanbali sebagaimana dikutip oleh Zayd bahkan dengan tegas mengatakan tidak ada perbuatan yang mengandung maslahah sekaligus mafsadah dengan kadar yang sama. Jika, salah satunya dianggap lebihi layak untuk dikerjakan, berarti maslahah‑nya lebih unggul. Sebaliknya, jika meninggalkan salah satunya lebih baik, berarti mafsadah‑nya yang lebih besar. Di samping itu, dalam penelitiannya tidak ada dalil yang berbicara tentang suatu perbuatan yang memiliki kadar maslahah dan mafsadab seimbang, sebab maslahah dan mafsadah adalah dua kubu yang berseberangan, sehingga mustahil untuk bersatu. Jika keduanya bertemu, dapat dipastikan bahwa salah satunya lebih unggul. Dengan demikian, maka hukum didasarkan pada yang lebih unggul tersebut. [11]
2.      Metode Penetapan Hukum Islam
Dalam menetapkan hukum dalam suatu realita empiris, ulama’ ushul fiqh menempuh empat metode, yaitu :
a.       Metode qiyas
Dalam kesimpulannya, Dr. Wahbah Zuhaili menyebutkan bahwa qiyas adalah menganalogikan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya kepada kasus yang sudah ada nash hukumnya karena ‘illat hukumny sama.[12]
Qiyas mengandung rukun dan syarat, yaitu : pokok, ialah kasus yang sudah ada nash hukumnya, cabang, yaitu kasus baru yang belum ada nash hukumnya, dalam hal ini adalah objek penelitian ini yaitu MLM, Travel 21 dan VGMC, hukum asal, ialah hukum suatu kasus ( pokok ) yang sudah ditetapkan oleh nash dan ditatapkan pula kepada “cabang” karena ada persamaan ‘illat hukum, ‘illat, yaitu suatu sifat yang menjadi dasar hukum pada pokok, dan sifat ini pula yang harus ada pada cabang.
Terdapat dua kelompok ulama’ dalam kehujjahan qiyas sebagai metode penetapan hukum yaitu , pertama kelompok yang menetapkan qiyas sebagai dalil hukum. Kelompok ini didukung oleh mayorits ulama ushul fiqh. Kelompok ini mengatakan bahwa qiyas adalah merupakah dalil hukum sebagaimana al-Qur’an, Hadits dan ijma’ ulama’. Kedua, adalah kelompok yang mengngkari qiyas. Kelompok ini dimotori oleh madzhab dhahiriyah, nidlamiyah dan syi’ah. Kelompok berargumentasi dengan kandungan Q.S. al-An’am 59, bahwa tidak sesuatupun yang terlewat dalam al-Qur’an ini sehingga tidak dibenarkan membuat metode lain selain al-Qur’an dan as-Sunnah.
b.      Metode Istihsan
Istihsan menurut bahasa adalah : menganggap baik terhadap sesuatu, sedangkan menurut ulama’ ushul, istihsan adalah pindahnya seorang mujtahid dari petunjuk qiyas jali kepada petunjuk qiyas khafi atau pindah dari hukum kulli kepada hukum juz’iy karena ada dalil yang sangat kuat yang mengharuskan mujtahid tersebut pindah.[13]
Dalam kehujjahan qiyas ini sebagai salil hukum para ulama cenderung sepakat hanya sebagian syafi’iyah saja yang menentang karena menurut mereka qiyas saja sudah cukup sebagai dalil hukum, maka untuk apa dibutuhkan qiyas. Namun menurut hemat penulis, qiyas ini sangat dibutuhkan sebagai metode pengambilan hukum karena dalam penelitian ini akan mengurai tentang aplikasi bisnis modern yang tentunya banyak menumbuhkan kajian-kajian mendalam tentang sesuatu yang benar-benar baru dan berkemungkinan alasan yang dipakai penetapan hukumnya sangat rigit atau sulit dijumpai sehingga membutuhkan analisa mendalam dengan istihsan.
c.       Metode Istishhab
Istishhab secara bahasa adalah menghitung sama sesuatu dengan lainnya, sedangkan menurut istilah adalah memberlakukan hukum yang terdahulu dalam suatu hal sebelum ada dalil yang menunjukkan perubahan hal itu.[14]
Dari devinisi ini dapat difahami bahwa istishhab adalah merupakan kodifikasi hukum  terhadap peristiwa yang terdahulu untuk selalu ditetapkan sebagai hukum peristiwa tersebut sebelum ada petunjuk yang menyatakan bahwa dalil dari peristiwa itu telah berubah. Dengan demikian  dapat diketahui bahwa penetapan hukum tersebut bukan karena tidak ada hal yang mewajibkan hukumnya melainkan karena kewajiban melaksanakan hukum itu sendiri karena masih berlaku.
Dalam kajian mengenai bisnis kontemporer, pemakaian istishhab ini sebagai dalil hukum akan mengalami kesulitan yang luar bisaa, oleh karena itu dalam analisa terhadap bisnis modern, peran istishhab ini bisa dikatakan sangat sedikit.
d.      Metode al-Mashlahah al-Mursalah ( Istishlah )
Sebelum memasuki maslahah dalam arti tekhnis ( Istishlah ), akan dijelaskan dahulu konsep maslahah secara umum dalam syari’at Islam, maslahah secara ethimologis ialah kata benda infinitif dari akar kata shalaha   kata  kerja yang bisaa digunakan untuk menyatakan suatu kebaikan, benar dan shaleh, lawan dari kata fasada. Kata  ini juga berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan dan menolak kerusakan.
Dalam. perkembangan lebih lanjut, kata, ini menjadi sebuah konsep penalaran yang selalu dihubungkan dengan imam. Malik sebagai ulama' yang mula‑mula mengembangkannya, walaupun pada, dasarnya konsep ini sudah berkembang pada periode awal pertumbuhan hukum Islam.
AI‑Ghazall mengartikannya sebagai suatu ekspresi untuk mencari sesuatu yang berguna atau mencegah timbulnya sesuatu yang keji. Pada kesempatan lain ia menjelaskan bahwa maslahah ialah pemeliharaan ideal moral syari'ah dari penciptanya, yang terdiri dari lima hal pokok yaitu :memelihara agama, intensitas jiwa, akal, keturunan dan harta benda. Maka setiap sesuatu yang menjamin lima prinsip ini adalah maslahah dan kebalikannya adalah mafsadah.[15]
Dalam kehujjahan maslahah ini sebagai dalil hukum, para ulama’ mengapresiasinya dengan baik dan berargumentasi bahwa semua hukum syari’ah adalah didasarkan pada motivasi dan alasan-alasan yang harus dikembalikan kepada kemaslahatan atau menolak kerusakan pada manusia, baik dalam bentuk perintah atau larangan, karena syari’ah tidak lain hanya untuk kemaslahatan hambaNya di dunia dan di akhirat secara keseluruhan.[16]
Alasan kedua tentang urgensi istislah sebagai metode pengambilan hukum ialah wajib hukumnya untuk selalu memberikan ketetntuan hukum terhadap masalah-masalah aktul. Hal ini mutlak diperlukan agar supaya agama Islam sebagai agama yang kaffah ini tidak diinggalkan uleh umat manusia karena dianggap stagnan, tidak bisa menyelesaikan masalah hukum penganutnya dengan baik.
Maka disinilah letak keluasan dan keluesan istislah sebagai metode penetapan hukum, karena akan selalu sejalah dengan maqasid al-syari’ah dan akan selalu memelihara ideal moral syari’ah baik yang daruuriyat, hajiyat ataupun tahsiniyat.
3.      Kebijakan-kebijakan pemerintah tentang aplikasi bisnis modern dalam tata hukum bisnis di Indonesia.
Perluasan distorsi hukum mutlak diperlukan mengingat pelaku bisnis ini bukan hanya dari kalangan kaum muslimin Indonesia saja, melainkan dari penganut agama lain, sehingga apabila tolok ukur yg dipergunakan hanya hukum Islam saja, maka secara moral hanya berlaku bagi umat Islam, walaupun secara formal belum ada jaminan kepastian hukum.
Oleh karena itu mutlak diperlukan kajian dalam persfektif hukum positif di Indonesia, karena apabila dalam penelitian ini dijumpai hal-hal yang melanggar hukum terutama hukum bisnis, maka secara formal dapat dijatuhkan sanksi hukum bagi pihak yang melanggar hukum tersebut.
F.     Metode dan pendekatan Penelitian
1.      Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian pustaka (library research),[17] yakni peneliti mengacu dan menelaah pada data‑data karya ilmiah berupa kitab-kitab abad pertengahan dan kitab‑kitab karya pernikir muslim yang relevan yang ada hubungannya dengan pokok bahasan yakni, tentang maqasid al-syari’ah dan metode penetapan hukum Islam. Kitab‑kitab tersebut antara lain adalah al‑Shakhshiyyah al‑Isamiyah juz 3 karya Taqiyu al‑Din al Nabhani, Muqaddimah al‑Dustur karya Taqiyu al‑Din al Nabhani. Sedang kitab‑kitab usul al‑fiqh karya intelektual muslim antara lain kitab Ushul al-Fiqh al Islami yang ditulis oleh Wahbah Zuhayli; al‑Shatibi dengan karyanya al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam. al‑Maqasid al‑'Ammah karya Yusuf Hamid al‑'Alim, Maqasid al-Syari’ah al-Islamiyah karya Muhammad al‑Tahir 'Ashur, dan referensi-referensi yang berkenaan dengan filsafat hukum Islam..
Disamping sumber dari kitab-kitab klasih tersebut, muthlak diperlukan sumber primer dari ketiga bentuk aplikasi bisnis MLM, Travel 21 dan VGMC, sehingga terhindar dari perihla menyikapi sesuatu diluar keadaan yang sebenarnya.Tidak kalah pentingnya juga sumber utama dan utama pokok kajian hukum Islam yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah.
2.      Metode Analisa Data
Data yang terkait dengan maqasid al-syari’ah dan mentode penetapan hukum Islam akan dianalisis secara mendalam. Maksudnya, peneliti tidak hanya membaca, mendisplay dan menyerap data tersebut, namun peneliti akan melangkah lebih jauh dengan melakukan studi kritis yakni pembacaan secara reflektif.[18] Pernbacaan secara reflektif menuntut pengkajian mendalarn dengan menilai dan mempertanyakan, dan kalau perlu menggugat, bahkan menolak terhadap materi yang ada pada pemikiran maqasid al-syari’ah dan mentode penetapan hukum Islam. Namun juga tidak menutup kernungkinan untuk mengapresiasi pernikiran-pemikiran tersebut.
Penulis dalarn membaca data mengacu pada pendapat Karl R. Ropper yang mengatakan, bahwa setiap monopoli pengarang dan penggagasnya yang masuk dalarn dunia pengetahuan obyektif, dia menjadi teks yang otonorn dan tidak lagi tergantung pada orang yang semula menggagas dan mengeluarkannya. Interpetasi terhadap sesuatu yang telah diumurnkan, dapat saja berbeda dari apa yang semula diniatkan dan dimaksudkan oleh penggagasnya.[19]
Hal ini karena, apapun penafsiran orang atas sebuah teks dapat dibenarkan. Penafsiran itu menjadi hak dari setiap individu sesuai dengan perspektif dan kepentingannya sendiri‑sendiri, tanpa harus terikat pada pemikiran dan kemauan penggagasnya. Masalah kebenaran atau kesesuaian tafsir dengan maksud dan makna yang terkandung dari teks yang ditafsirkan bisa diabaikan.[20]
Melakukan pembacaan seperti di atas perlu data yang berupa hasil karya maqasid al-syari’ah dan mentode penetapan hukum Islam secara memadai, juga berupa pendekatan yang dalam penelitian ini menggunakan pendekatan pemikiran epistemologi hukum Islam (ushul fiqh dan kaidah fiqh).
G.    Sistematika Pembahasan
Disertasi ini akan dibagi ke dalarn enam bab. Bab satu merupakan pendahuluan dari penelitian ini, yang mencakup latar belakang masalah, identiflkasi dan batasan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teoritik, penelitian terdahulu, sistematika pembahasan dan outline penelitian.
Bab dua adalah perspektif teori, yang berbicara tentang beberapa pandangan ulama' dan para sarjana tentang maqasid al-syari’ah dan metodologi penetapan hukum Islam terhadap masalah-masalah kontemporer, yang telah disepakati penggunaannya terutama yang berkenaan dengan bisnis modern terutama MLM, Travel 21 dan VGMC.
Bab tiga berupa kajian teoritis tentang aplikasi ketiga bisnis modern  ini dalam persfektif hukum bisnis di Indonesia.
Bab empat adalah berisi Refleksi tentang Multi Level Marketing, Travel 21 dan Virgin Gold Mining Corporation ( VGMC) beserta elemen-elemn yang terdapat di dalamnya.
Bab lima  adalah konsep maqasid al-syari’ah dan metode penetapan hukum Islam secara konfrehensif, serta muatan hukum positif dalam aktualisasi ketiga trend bisnis di atas.  Diharapkan bab ini akan bisa menyajikan secara komprehensip data yang diperoleh melalui penelusuraan secara kontinyu dalam berbagai pustaka yang terkait.
Bab lima adalah tentang implikasi dan aplikasi maqasid al-syari’ah dan metode penetapan hukum Islam dalam bisnis modern MLM, Travel 21 dan VGMC, serta bagaimana hukum positif menyikapi ketiga trend bisnis ini.
Bab enam adalah berisi kesimpulan dan saran.
Sistematika pembahasan ini dapat berubah sesuai bimbingan promoter dan situasi atau kondisi yang melingkupi.



DAFTAR PUSTAKA
Mahmud Abu Saud, Garis-Garis Besar Ekonomi Islam, Jakarta : Gema Insani Press,  1992
Al Juwainy, Al Burhan fi Ushul al Fiqh, Kairo : Dar al Anshor, 1400 H.
Al Fasi, Maqaasid al-Syari’ah al-Islamiyah wa Makaarimuha, t.t. : maktabah al-Wihdah, t.t.
Abd. Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, t.t. : dar al-Kuwaitiyyah, 1968
A.           Azis Dahlan dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : PT. Ikhtiyar Baru Van Hoeve, 2003
Abi Ishak al-Syatibi, Al Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al Fiqh, t.t. : Dar al-Fikr al-Arabiyah, t.t.
Najm al-Din al-Thufi, Risalah Maslahah, dalam al-Manaar, vol. 9, juz. 10, ed. Muhammad Rasyid Ridla, Mesir : al-Manaar, 1906
Dr. Wahbah al-Zuhaili, Ushul al Fiqh al Islami, Beirut : Dar al-Fikr, 1986
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : Grafindo Persada, 1999
Kasianto, Analisis Wacana dan Teoritis penafsiran Teks, Jakarta : Raja Grafindo, 2003




[1] Mahmud Abu Saud, Garis-Garis Besar Ekonomi Islam,  ( Jakarta : Gema Insani Press, 1992 ). 10
[2] Al-Juwainy, al-Burhan fi ushul al-Fiqh, ( Kairo : Dar al-Anshor, 1400 H. ), 295
[3] Al-Fasi, Maqaasid al-Syari’at al-Islamiyah wa Makarimuha, ( t.t. : Maktabat al-Wihdat al-Arabiyah, t.t. ), 512.
[4] A. Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushul Fiqh, ( t.t. : Dar al-Kuwaitiyah, 1968 ), 199
[5] A. Aziz Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, ( Jakarta : PT. Ikhtiar BAru Van Hoeve, 2003 ), 4, 1109.
[6] Abi Ishak al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi ushul al-syari’ah, ( Beirut : dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t. ), II, 134-6
[7] Ibid, IV, 64
[8] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, ( t.t. Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.), 279
[9] Najm al-Din al-Thufi, “Risalah Maslaha” dalam al-Manaar, vol.9, juz 10, ed. Muhammad Rasyid Rida, ( Mesir ; al-Manaar, 1906), 753
[10] Al Buti, Dawabitul MAslahah, 107
[11] Zayd,Al-Mashlahah, 104-1
[12] Dr. Wahbah Zuhaili, ushul Fiqh al-Islami, ( Beirut : dar al-Fikr, 1986), 602.
[13] Abd. Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, 82.
[14] Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, 91
[15] Ibid, 769
[16] Ibid, 762
[17] Abudin Nata membedakan kualifikasi suatu penelitian itu bersifat literer (library research) atau bersifat lapangan (field research) dengan berpedornan pada bagairnana data, bahan atau obyek yang diteliti. Suatu penelitian dapat digolongkan dalarn katagori library research, bila data yang dihimpun berupa bahan‑bahan tertulis seperti: manuskrip, buku, majalah, surat kabar dan lain‑lain. Sedangkan penelitian yang dikatagorikan sebagai penelitian fleld research jika menggunakan informasi yang diperolch dari sasaran penelitian (responden atau inforinen) melalul instrumen pengumpul data seperti: angket, wawancara, observasi dan sebagainya. Lebih jelas lihat dan baca Abudin Nata, Metodologi Stud! Islam (Jakarta: Graffindo Persada, 1999), 125.

[18] Studi kritis di sini mengacu pada definisi berfikir kritis (critical thinking) yang dilontarkan oleh Ennis R. yang berupa, "Reasonable reflective thinking focused on deciding what to believe or do." (berflkir reflektif yang dapat dinalar dengan difokuskan untuk membuat keputusan atas apa yang diyakini, atau yang man dikerjakan). Ennis, R. 0ifical tbinA!ng.‑ "at is it? Proceedings of the Forty‑Eighth Annual Meeting of the Philosophy of Education Society Denver, Colorado, (March1992), 27‑30.
[19] KasiYanto, 'Analisis Wacana dan Teoritis Penafsiran Teks" dalarn Anallsis Data Penclitian Kualitatif, ed. Burhan Bungin (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 150.
[20] Ibid, 51