Diklat Keaswajaan 2007
Kontekstualisasi Islam ASWAJA dalam
Perspektif PMII.
Oleh : Abd. Wahed,M.HI.
Disampaikan pada acara Masa Penerimaan Anggota Baru (
MAPABA )
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia ( PMII ) Komisariat STAIN
Pamekasan
Masa khidmat : 2007 – 2008
Tanggal 01 Nopember 2007
Di Pondok Pesantren Nahdzatut Thullab Prajjan Camplong
Sampang.
Pendahuluan
Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai salah satu golongan yang dinash masuk
syurga dari berbagai golongan umat Islam oleh Rasulullah Saw. , telah banyak
melahirkan golongan-golongan yang bermunculan dalam mayarakat islam yang
kesemuanya sama-sama mengklaim kelompoknya lah yang pantas dan layak menyandang
gelar aswaja itu sendiri.
Klaim tersebut kadang-kadang diikuti dengan sikap fanatic yang
berlebihan sehingga tidak jarang sebagian kelompok tersebut mengkafirkan
kelompok yang lainnya. Atau yang lebih lunak mungkin hanya mencari dan
menempatkan kelompoknya pada posisi dimana ia berada pada posisi moderat yang
sama –sama bisa diterima oleh kelompok lain yang berseberangan dengannya.
Terlepas dari fenomina keaswajaan seperti tersebut di atas, Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia ( PMII ) sebagai wadah yang independent mau tidak mau
harus menentukan pilihan diaman ia akan berpijak, apakah akan ekstrim atau
moderat. Pentuan pilihan ini mau tidak mau juga harus melihat sejarah dari mana
dan dimana ia dilahirkan berkembang dan berjuang, sehingga dengan demikian
sebagai organisasi pergerakan tidak kehilangan rohnya yang telah menjadi dasar
perjuangannya.
Oleh karena itu, pemahaman aswaja atau keaswajaan baik tekstual atau
kontekstual hendaknya dipahami betul oleh kader-kadernya. Pemahaman tersebut
tentunya dengan melihat sejarah
keberadaan PMII itu sendiri sebagai underbow Nahdlatul Ulama diharapkan
memperoleh pemahaman yang cenderung sejalan dengan keaswajaan NU atau kalaupun
terdapat perbedaan bukan dalam hal-hal yang prinsip.
Dalam konteks ini kajian tentang aswaja dalam segala visi perlu
diketengahkan dengan harapan dapat memperdalam pemahan para peserta mapaba PMII
tahun 2007 ini demi memberikan sumbangsihnya terhadap dinamika perkembangan
wawasan pemikiran kalangan akademik dan memberikan pencerahan pemikiran kepada
masyarakat.
Pembahasan
A. Pengertian
Ahlus sunnah wal jamaah secara harfiah
mempunyai arti ; ahli ( penganut ) sunnah dan jamaah Rasulullah Saw. Kata
aswaja ini secara langsung diadopsi dari sebuah hadits Rasulullah saw riwayatIbnu
Majah dan at-Turmudzi :
ستفترق امتي على ثلاث وسبعين فرقة ، الناجية منها واحدة
والباقون هلكى ، قيل ومن الناجية ؟ قال : اهل السنة والجماعة . قيل : ومن اهل
السنة والجماعة ؟ قال : ماانا عليه اليوم واصحابي .
Umatku
akan terpecah belah menjadi 73 golongan, hanya satu golongan yang selamat. Para Shahabat berkata : Siapa yang selamat itu yan
Rasulallah ? Rasulullah saw bersabda : Ahlussunnah waljamaah. Para
shahabat bertanya lagi : Siapa Ahlussunnah tersebut ? Rasul bersabda :
Ahlussunnah waljamaah Adalah : apa yang saya dan shahabat saya kerjakan hari
ini. HR. Ibnu Majah dan at-Turmudzi.
Secara implicit hadits tersebut
mengindikasikan bahwa ahlus sunnah waljamaah adalah orang atau segolongan orang
yang dengan setia mengikuti sunnah-sunnnah atau kebiasaan-kebiasaan Rasulullah
dan para sahabatnya.
Akan tetapi pemahaman aswaja secara utuh
hanya bisa dicapai melalui pendekatan-pendekatan antara l;ain :
- Pendekatan histories, keagamaan dan kepolitikan
Awal suksesi kepemimpinan islam pasca
Rasulullah saw. Diwarnai dengan beberapa perbedaan sebagai bibit perpecahan
yang kemudian hari sangat potensial mewarnai beberapa aliran yang muncul dalam
islam.
Perbedaan
tersebut lebih ditekankan kepada ; siapa pewaris kepemimpinan Rasulullah dalam
membina umat sebagai pemegang sulthah dunyawiyah, yang mengatur hal
ihwal perikehidupan umat menuju jalan yang diridloi Allah swt. Perlu ditegaskan
bahwasanya Rasulullah disamping sebagai pemegang sulthah dun-yawiyah juga
pemegang otoriter masalah ketuhanan dan hokum-hukumNya sebagai Rasul, beliau
juga pemegang sulthah ukrawiyah. Sebagai satu-satunya orang yang diutus
sebagai Rasul mulai saat itu sampai kiamat tiba.
Dalam menyikapi masalah siapa pengganti
Rasulullah saw. ini, pada awalnya terbagi atas dua kelompok yaitu ahlul bait
dan mayorits para shahabat. Mayoritas para shahabat bermusyawarah tanpa
dihadiri oleh ahlul bait yang kemudian menyepakati Abu Bakar as Shiddiq untuk
menjadi khalifah Rasulullah yang pertama mengingat sebelum wafat Rasulullah
berpesan kepada Abu Bakar untuk mengimami sholat subuh besoknya, dan itu
dipahami oleh para shahabat sebagai isyarah bahwa pengganti beliau Rasulullah
adalah Abu Bakar, juga mengingat bahwa Abu Bakar adalah sahabat beliau yang
paling wara' dan paling didewasakan.
Sampai masa khalifah Umar ibn Khattab masih
tidak terjadi perpecahan yang berarti anatara mayoritas shahabat dengan ahlul
bait. Namun masa beikutnya pada ke khalifahan S., Utsman ibn Affan baru mulai
muncul fitnah perpecahan yang pertama mengingat musyawarah pengangkatan Abu
Bakar sebagai khalifah tidak diikuti ahlul bait, dan mengingat kepemimpinan
Utsman Ibn Affan yang cenderung nepotisme, maka sebagian ahlul bait ada yang
protes dimana seharusnya khalifah saat itu dipegang oleh s. Ali Kw.menurut
keyakinan mereka.
Peta politik saat itu adalah : sebagian
kelompok umat islam mendukung kepemimpinan Utsman sebagai penerus
kekhgalifahan, sebagian yang lain tidak mendukung dengan alasan sebagaimana
tersebut di atas, dan sebagian yang lain cenderung menafikan keduanya dan
mendirikan kelompok tersendiri yang dikenal sebagai cikal bakal kaum Khawarij.
Keadaan demikian meneybabkan terbunuhnya khalifah Utsman ibn Affan dan suksesi
dilanjutkan oleh Ali kw.
Pada masa kepemimpinan Ali ini benih-benih
perpecahan sudah mulai tumbuh secara intensip. Satu kelompok eks pengikut Utsman
di Damaskus., satu kelompok Ahlul Bait di Madinah dan satu kelompok lagi
Khawarij yang terus menghembuskan perongrongan terhadap kekuasaan Ali, yang
pada akhirnya berujung terhadap terbunuhnya Ali kw.
Pada masa selanjutnya perpecahan ini
merermbet kepada hal-hal inti ajaran agama islam ini, aqidah, syari’ah dan tatakrama kehidupan telah didikotomikan dalam
tiga kelompok besar ini. Jadi di sini ada kelompok Ahlul Bait, kelompok Ahlus
sunnah dan kelompok Khawarij.
Carut marut pertentangan politik ini mereda
setelah Ali kw. Menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah di Damaskus sebagai
cikal bakal kelompok Aswaja. Sedangkan pengikuit Ali mendiriikan kelompok
Syi’ah dengan spirit mencintai betul-betul Ahlul Bait yang sekarang besar dan
berkembang di Iran .
Dan kelompok Khawarij masih kukuh dengan penentangannya kepada kedua kelompok
yang lain.
Jadi dari pendekatan historis ini sebenarnya
kelompok Aswaja ini adalah penerus Muawiyah di Damaskus yang dalam peralihan
suksesinya dikenal sedikit curang melalui juru rundingnya Abu Musa al-Asy’ari.
- Pendekatan Kultural
Melalui pendekatan budaya dan adat istiadat,
aswaja bisa difahami dalam kerangka bahwa semua adat dan kebiasaan Muawiyah dan
pengikut-pengikutnya adalah sama dengan apa yang dibiasakan oleh Rasulullah
saw., mengingat Muawiyah adalah juga seorang sahabat Beliau.
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya,
Aswaja lebih longgar dalam menerapkan
hadits-hadits sebagai sumber hukum, sedangkan Khawarij dan Syi’ah hanya
menerima hadits-hadits dari sanad tertentu saja sebgai sumber hukum. Syi’ah
hanya menerima dari sanad Ahlul Bait, sedang Khawarij menetapkan standar
sendiri dalam menerima haits diantaranya ialah boleh diterima sebagai sumber
hukum sebuah hadits walaupun diduga palsu sekalipun asalan muatannya selaras
dengan kemaslahatan kehidupan.
Hal ini berimabas terhadap perkembangan
keilmuan pengikut-pengikut ketiga kelompok ini. Syia’ah dan Khawarij lebih
bersifat eklusif, sedangkan kelompok Aswaja lebih beresifat terbuka.
Disamping pemahaman dari segi keilmuan,
pemehaman Aswaja dari segi kultural juga dapat difahami bahwa kultur Aswaja juga dipengaruhi oleh
perkembangan percampuran ras dan budaya umat islam pada saat itu dimana sudah
terbuka interaksi dengan umat yang lain. Sehingga mengakibatkan keaneka ragaman
pemahaman aswaja pada saatnya kelak. Budaya nberfikir kritis misalnya diadopsi
dari pemikiran-pemikiran dan budaya kaum Yunani, budaya kerja keras dan lain
semacamnya diadopsi dari budaya hidup orang tar-tar leluhur bangsa Cina
sekarang dan lain sebagainya.
Oleh karena pemegang kekuasaan kekhalifahan
lebih lama dipegang oleh kalangan Aswaja sampai dengan masa keperintahan Harun
ar Rasyid di Baghdad pada abad pertengahan maka tidak mengherankan apabila
pemahaman aswaja ini lebih luas dikenal oleh masyarakat islam ketimbang dua
kelompok lainnya, dimana Syi’ah hanya eklusif di Iran dan Khawarij yang
kehilangan pamornya dan meredup sehingga secara organisasi tidak dikenal
penerusnya akan tetapi secara pemiran, radikalisme dan sedikit premanisme
keil;muan atau budaya masih dapat disaksikan sampai abad ini.
- Pendekatan Doktrinal
Doktrin-doktrin keaswajaan merupakan
kristalisasi dari berbagai perkembangan sebelumnya baik ia historis keagamaan
atau politik dan juga kultur budaya yang melingkupinya. Daktrin-dokrin di sini
di butuhkan agar supaya pemahaman aswaja tidak baur dan tidak bercampur aduk
dengan pemahaman-pemahaman yang lain baik internal atau ekternal umat islam.
Asal mula doktrin-doktrin keaswajaan ini
hanya berkutat dan membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan aqidah dan
syari’ah saja. Akan tertaspi dalam perkembnagan selanjutnya juga merembet
kepada hal-hal diluar itu seperti segi politik dan budaya bahkan arah
pemikiran.
Dengan
memakai ketiga pendekatan analisis sebagaimana di atas dapat difahami bahwa
Aswaja adalah Suatu sistem perangkat aqidah, suatu citra gerakan atau ruh
perjuangan dan suatu karakter sosisal dan suatu model budaya.
B. Historisasi Aswaja
Dengan
melihat ulasan pemahaman aswaja melalui berbagai pendekatan sebagaimana
tersebut di atas maka dapat dipetakan historisasi aswaja sebagai berikut :
a. Masa Rasulullah saw. Dimana pada masa itu Aswaja masih berada
dalam pemahaman yang sebenarnya dan masih asli tanpa kontaminasi apapun baik ia
politik, budaya maupun hal-hal ektern umat islam.
b. Masa Khulafaur Rasyidin. Dimana pada masa ini aswaja sudah
sedikit banyak terkontaminasi oleh perpecahan politik, dikotomi aqidah,
syari’ah dan juga budaya hidup.
c. Masa Perkembangan islam pada abad-abad pertengahan dimana aswaja
juga sudah berkolaborasi dengan berbagai arus pemikiran, budaya dan adat
istiadat yang lain dimana aswaja itu
difahami dan diperjuangkan.
d. Masa Modern. Dimana aswaja juga telah mengalami
pergeseran-pergeseran nilai sebagi mana dapat disaksikan pada masa sekarang ini
Terlepas
dari kajian kesejarahan aswaja sejak dikumandangkan sampai -dengan sekarang,
terdapat fenomina yang sangat menarik untuk dikaji, yakni : tidak sedikit
firqah dalam islam yang mengklaim dirinya yang paling aswaja. Hal ini dapat
dimaklumi karena dengan predikat aswaja tersebut seakan-akan telah mengantongi
tiket untuk selamat sampai di syurga kelak di akhirat. Akan tetapi kajian yang
lebih mendalam mau tidak mau harus dilaksanakan karena aswaja atau tidak
persoalannya bukan hanya pada kalim mengklaim tersebut.
Adanya
perbedaan dalam memahami aswaja dalam kalangan umat islam tidak terlepas dari
dua factor yang sangat dominant mempengaruhi sikap umat islam, baik dalam hal
aqidah, syari'ah atau budaya dan sebagainya. Keduia factor tersebut adalah :
1. Faktor metodologis dalam memahami doktrin-doktrin skriptual.
Faktor ini mempengaruhi sekelompok
umat islam dalam memahami teks-teks nash secara tekstualis/literalis. Sangat
terikat pada bunyi nash. Taruh misalnya dalam memahami kalimat : " ما انا عليه واصحابي " . mereka sangat tekstual sekali
sebagaimana yang ditunjukkan nash. Menurut mereka apa yang seharusnya
dikerjakan oleh umat islam harus sama persis-sis dengan apa yang dicontohkan
Rasullah saw. tanpa mempertimbangkan hal-hal lain baik yang menjadi pendukung
atau penghalangnya, seperti budaya dan adapt istiadat yang melingkupi suatu
komunitas misalnya.
Metode pemahaman seperti inilah yang akhirnya
menimbulkan sikap ekstrim dan kaku dalam memahami ajaran-ajaran agama islam
ini.
2. Faktor Konsesi ( izin / peluang ) peranan akal dalam pemahaman
skriptual tersebut.
Konsesi yang dimaksudkan
disini adalah penggunaan akal dalam memahami teks-teks nash sebatas
kemampuannya. Akal disini berfungsi sebagai salah satu bagian dari ijtihad
dengan ra'yi dalam memahami teks.
Sikap pemahaman seperti ini
cenderung lebih kontekstual dalam memahami nash. Disamping memahami nash secara
tekstual, juga ditempuh metode pemahaman secara kontektualis/substansialis
dengan melihat kaitan teks dengan hakikat maksud yang terkandung didalamnya.
Metode pemahaman seperti ini akan menimbulkan
sikap moderat/tawasuth diantara kutub-kutub pemikiran yang berkembang. Sikap
ini jauh lebih baik daripada bersikap ektrim, baik ekstrim kanan atau kiri.
Moderat yang dimaksudkan
disini adalah dalam artian seimbang antara pemahaman dalil-dalil naqli dan
dalil-dalil aqli.
Jadi beraswaja seharusnya
bersikap moderat/tawasuth sebagaimana
dicontohkan oleh Rasulullah dengan sabdanya : "sebaik-baik hal adalah yang
paling tengah diantara dua kutub yang berbeda ".
Namun
belakangan timbul satu faksi dalam islam yang juga belabel aswaja akan tetapi
terkesan radikal, garang dan sangat ektrim. Hal ini menyisakan tiga pertanyaan
besar bagi cendikiawan muslim yang membutuhkan pemikiran, jawaban dan pencerahan
sesudahnya. Tiga pertanyaan tersebut adala ; 1. apakah memang doktrin aswaja
telah berubah menjadi ektri atau garang seperti itu ? atau 2. Apakah orangnya
yang berubah atau 3. sosio kultur yang melatarbelakanginya telah berubah kea
rah yang ekstrim tersebut ?.
Tiga
pertanyaan besar yang masih menyiskan PR bagi pemikir-pemikir muslim pada saat
yang akan datang.
C. Doktrin Keaswajaan
Pendekatan
doctrinal Aswaja menurut Asy'ari dan MAturidi meliputi hal-hal sebagai berikut
:
1. Masalah ke-Maha Esa-an Allah swt.
Ke-esa-an Allah atau wahdaniyah meliputi ketiga aspek ketuhanan
yaitu wahdaniyah fi dzatihi fi sifatihi dan wahdaniyah fi af'alihi.
Wahdaniyah juga dapat dipahami Allah swt. sebagai Tuhan yang berhak
disembah. Hal ini dikenal dengan tauhid Uluhiyah. Allah sebagai pencipta alam
semesta, dikenal dengan tauhid Rububiyah dan Allah swt., sebagai Pemilik
sifat-sifat kesempurnaan , lebih dikenal dengan tauhid Sifatiyah.
2. Nama-nama dan sifat Allah swt.
Nama-nama Allah swt. Sebanyak 99 nama sebagaimana ditegaskan hadits
shahih yang lebih dikenal dengan Asmaul Husna.
Sifat Allah swt. Terbagi menjadi dua : a. sifat Dzatiyah terdiri dari 20
sifat wajib dan 20 sifat mustahil bagi Allah serta 1 sifat jaiz bagiNya. B.
sifat Fi'iliyah ialah sifat-sifat kesepmpurnaan bagi Allah swt., selain sifat
yang dzatiyah tadi. Seperti Allah swt., bersifat Ar-Razzaq, yang Maha Pemberi
Rizki, As-Shomad tempat meminta perlindungan atau tempat berpulang dan lain
sebagainya.
3. Al-Qur'an firman Allah.
Menurut Ahlsu Sunnah wal Jamaah terdapat 2 pemahaman mengenai Al-Qur'an
firman Allah, yaiut : 1. Firman yang abstrak ( Kalam nafsiy ). Ini adalah Qadim
dan Azali. Dan yang ke 2. Firman dalam bentuk kitab suci, bebrbentuk huruf dan
bacaan, firman yang ini Hadits atau baru atau tidak qadim.
Kalangan Mu'tazilah pengikaut Washil bin 'Atha' tidak setuju dengan
pemilahan menjadi 2 bentuk firman ini. Mereka beranggapan bahwa Al-Qur'an itu
Makhluq.
Sedangkan Kalangan Haswiyah sebagian dari pengikut Ahmad Ibn HAmbal
mengatakan BAhwa Al-Qur'an itu Qadim seqadim-qadimnya termasuk yang berbentuk
huruf-hurf dan bacaan itu.
Bandingkan ke-elastis-an aswaja dalam hal ini dengan dua pendapat ekrim
sekitarnya.
4. Melihat Allah di akhirat
Melihat Allah di akhirat
(baca Syurga) ditegaskan oleh sebuah ayat al-Qur'an : وجوه يومئذ ناضرة الى ربها
ناظرة dan sebuah hadits :
ترون ربكم كما ترون القمر ليلة البدر
لا تضارون في رؤيته
Kalangan Mu'ytazilah tidak
setuju dengan pendapat melihat Allah walaupun di akhirta nantui, karena menurut
mereka Allah swt., itu terlalu Agung untuk dapat diolihat.
Menanggapi hal ini kaum Ahlus sunnah wal jamaah berargumentasi bahwa
akhirat itui tidak sama sedikitpun dengan keadaan di dunia. Penyampaian tentang
akhirat yang seakan-akan dikiaskan dengan keadaan di dunia semata-mata untuk
mendekatkan pemahaman manusia tentang akhirat, suatu hal yang harus diimani
oleh orang mukmin, walapun sekali-kali akal mereka tidak akan pernah menjangkau
akhirat.
5. Perbuatan manusia atau افعال العباد
Abu Musa al-Asy'ari dan Abu MAnsur al- Maturidi, dua imam besar kaum
Aswaja dalam aqidah berargumentasi bahwa manusia dan perbuatannya asama-sama
makhluq ciptaan Allah. Mereka menegaskan hal ini berpatokan pada ayat : والله خلقكم وما
تعملون
Menurut Asy'ari ; perbuatan manusia mengikuti teori " الكسب " yang identik dengan golongan jabariyah yang
menyandarkan segalanya kepada Allah sehingga manusia tidak ikut pbertanggung
jawab terhadap perbuatannya.
Menurut al-Maturidi, perbuatan manusia terbagi dua ; 1. Perbuatan Tuhan
pada diri manusia dalam bentuk " penciptaan " daya pada diri manusia
( خلق
الاستطاعة ) dan 2.
Perbuatan manusia dalam bentuk " pemakaian/penggunaan " daya tersebut
( استعمال
الاستطاعة ). Akan tetapi
yang menentukan ialah daya yang dicipotkana Allah pada diri manusia itum
buykanlah daya pemakaian manusia itu sendiri. Pendapat maturidi ini yang lebih
dominant dalam kalangan kaum ahlussunnah waljamaah.
Berbeda dengan kaum "qadariyah " yang mengatakan bahwa manusia
yang menciptakan perbuatannya sendiri dan oleh karena itu ia wajib
mempertanggungjawabkan perbuatannya itu.
6. Orang mukmin yang berbuat dosa besar
Menurut kaum Khawarij orang
mukmin yang berbuat dosa besar apabila tidak tobat dihukumi kafir dam kekal di
neraka.
Menurut Mu'tazilah mereka
menjadi " tidak mukmin dan tidak kafir ", mereka nanti ditempatkan
pada " Manzilah bainal manzilatain ", tidak di surga dan tidak pula
di neraka.
Menurut aswaja, orang mukmin
yang mengerjakan dosa besar termasuk orang yang "fasiq" dan nanti
masuk dalam katagori " fi masyiatillahhi". Bagaimana sekehendak Allah
Swt.
Sementara kaum Murji'ah beranggapan bahwa orang mukmin yang berdosa
besar statusnya sama dengan amal baiknya orang kafir. Artinnya sama-sama tidak
diperhitungkan, maka berakibat pada pemahaman "boleh-boleh sja orang
mukmin berbuat dosa besar". Pemahaman yang sangat mengerikan sekali.
7. Kenabian dan kewalian. Terlalu sempit ruangannya untuk dibahas
secara mendetail.
8. Mukjizat dan karamah, terkait dengan item sebelumnya ( no 7 )
9. Masalah al-Imamah ( Kepemimpinan umat )
Imamah wajib ditegakkan untuk tyerselenggarakannya aturan agama maupun
kesejahteraan umat. Namun pada prinsipnya Nabi Muhammad Saw. tidak menunjuk
seseorang tertentu untuk menjadi imam tetapi menyerahkan kepada umat islam
untuk menegakkana imamah tersebut melaui ikhtiar dengan cara ijtihad.
Rasulullah saw. telah mencontohkan kehidupan yang demokratis dengan
mengedapanka musyawarah untuk mencapai mufakat. Dalam masalah imamah ini harus
tegak demokrasi dengan tetap melihat ; kompetensi keilmuan seseorang yang
hendak dijadikan pemimpin, reputasi keadilannya dan kapasitas kepemimpinan dan
kemamapuan pengelolaan ( as-siyash) nya.
10. Masalah methaphisika dan keakhiratan
Teralu banyak doktrin aswaja
dalam hal ini dan oleh karena itu sangat layak apabila dibicarakan secara
tersendiri dalam waktu yang lebih luas dan media yang lebih memadai.
Penutup
Pada akhir tulisan ini perlu ditegaskan bahwa sikap aswaja yang baik
adalah selalu mengetengahkan sikap 'adaalah, keadilan dalam semua hal,
sikap tawassuth, moderat, I'tidal tidak ekstrim baik itu ekstrim kanan
atau ekstrim kiri dan sikap tasaamuh, atau toleran sanggup hidup
berdampingan dengan orang lain walaupun berbeda visi misi bahkan berbeda agama
sekalipun dengan selalu tetap memperhatikan hak dan kewajiban masing-masing.
KONTEKSTUALISASI
ISLAM ASWAJA
DALAM PERSPEKTIF
PMII.
Disampaikan pada
Masa Penerimaan Anggota Baru ( MAPABA )
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia ( PMII ) Komisariat STAIN
Pamekasan
Masa Khidmat : 2007 – 2008
Oleh : Abd. Wahed,M.HI.
Di Pondok Pesantren Nahdzatut Thullab Prajjan Camplong
Sampang
01 Nopember 2007