Bagian ini berisi hasil-hasil ijtihad mengenai apa yang saya ketahui dan saya tuliskan. semuanya menerima kritik dan saran perbaikan.

Rabu, 29 Juli 2009

DEPOSITO UANG WAQAF, MUNGKINKAH ?

DEPOSITO UANG WAQAF, MUNGKINKAH ?

Oleh : Abd. Wahed, M.HI.

A. Pendahuluan

Kemaslahatan umat harus senantiasa diusahakan, baik duniawi atau ukhrowi. Agama Islam sebagai agama kaffah menyerukan kepada ummatnya agar selalu seimbang dalam menyikapi kehidupan ini diantara duniawi dan ukhrowi, material dan immaterial.

Idealnya, kehidupan dunia ini dijadikan dasar atau pondasi untuk mendapatkan kehidupan akhirat yang sejahtera diridlai Allah swt. Sebagaimana sebuah pepatah arab mengatakan ; orang yang cerdas itu ialah orang yang praktis dan bekerja untuk apa yang sesudah mati.

Agama Islam selalu menyuruh berbuat baik dan kebajikan sesama manusia, salah satunya dengan direalisasikan dalam bentuk memberikan dan menyumbangkan sebagian harta kekayaaan yang dimiliki untuk kemanusiaan dan kemakmuran bersama, terutama berupa amal jariyah, yang pahalanya tidak akan pernah putus diberikan oleh Allah Swt. selama masih dapat dirasakan mamfaatnya. Aplikasi amal jariyah ini salah satunya ialah dengan berkehendak menahan sebagian harta untuk jalan Allah dan menyerahkan mamfaatnya untuk kebaikan dan kemanusiaan. Perbuatan seperti itu dalam hokum Islam dikenal sebagai "WAQAF ".

Rasulullah sangat menganjurkan para sahabatnya untuk berwaqaf karena pada dasarnya waqaf mengandung mamfaat ganda, yaitu mamfaat pada waqif ( pemberi waqaf ) berupa keridlaan Allah dan pahala yang diharapkan mengalir sepanjang objek waqaf tersebut dapat mamfaatnya, dan mamfaat pada mauquf alaih ( penerima harta waqaf ) berupa kemaslahatan yang diterima dari pendayagunaan harta waqaf.

Sebagaimana ketentuan hokum Islam lainnnya, waqaf juga mengalami pergeseran nilai diakibatkan kemajuan kehidupan manusia terutama dalam bidang bisnis dan ekonomi seiring dengan peningkatan taraf hidup dan social mereka. Dengan demikian ketentuan waqaf juga mengalami perkembagan dari fase awal sesuai dengan reaktualisasinya seiring dengan perkembangan zaman.

Ada semacam asumsi masyarakat sekarang ini bahwa harta yang diwaqafkan bukan hanya hanya berupa harta benda saja, tetapi sudah lebih dari itu waqaf dapat juga berupa uang, rekening, pulsa dan semacamnya. Mereka beranggapan dan merasa yakin bahwa sesungguhnya uang yang mereka sumbangkan untuk kepentinga mmesjid, musholla dan kepentingan social lainnya adalah sebagai waqaf. Sedangkan di sisi lain, praktek yang dicontohkan Rasulullah dan para sahabatnya juga oleh para ulama' terdahulu, barang yang diwaqafkan berupa tanah, kebun, rumah dan harta benda lainnya. Di sini seakan-akan terjadi kontradiksi yang yang memerlukan penjelasan yang lebih kongkrit.

Seiring dengan perkembangan waqaf, tata kehidupan manusia juga mengalami perubahan. Jika dahulu manusia belum berfikir tentang peranan bank, tetapi pada zaman sekarang ini hamper setiap orang sudah tidak bias lepas dari hubungan dengan bank. Semua orang sudah tahu bahwa perananbank sangat membantu bagi suatu usaha masyarakat, karena dari bank mereka dapat memperoleh sejumlah pinjaman untuk memulai atau menegmbangkan usahanya.

Namun demikian apakah system perbankan yang berkembang saat ini sudah sesuai dengan aturan hukum islam atau tidak, di sini juga membutuhkan penjelasan yang lebih kongkrit juga. Dan apakah mungkin uang waqaf yang penggunaannya masih ditangguhkan dapat didepositokan-demi untuk mendapat mamfaat tambahan-pada bank-bank konvensional atau bank dengan label syariah tetapi masih berbasis konvensional itu?.

B. Tinjauan Umum tentang Waqaf

Diantara sekian banyak problematika harta milik dalam Islam, yang dapat menjelma menjadi harta milik bersama adalah harta dalam bentuk waqaf, yaitu system pemberian yang digerakkan oleh Islam sebagai aktifitas harta yang berfungsi social. Hal ini secara rapi dan tertib diatur dalam hokum islam tentang waqaf dan dilaksanakan sejak awal perkembangan Islam.

Waqaf dari segi bahasa adalah berasal dari kata : seperti juga : yang artinya, menahan. Adapun pengertian waqaf dari segi istilah, para ulama'memngemukakan sebagai berikut :

Abu Zahrah memberilkan devinisi ; waqaf adalah mencegah penggunaan harta benda yang mungkin dapat diambil mamfaatnya dengan tetap menjaga keutuhan bendanya, dan menjadikan mamfaatnya untuk jalan kebaikan sejak awal sampai akhir.

H.Sulaiman Rasyid mengemukakan ; waqaf adalah menahan suatu benda yang kekal zatnya, yang dapat diambil mamfaatnya guna diberikan di jalan kebaikan.

Al Nawawi menyatakan ; waqaf adalah menahan harta yang mungkin dapat diambil mamfaatnya dengan tetap utuhnya harta, dengan jalan tidak mentasharrufkan pada hal-hal yang dapat merusak keutuhan harta itu sendiri.

Dari berbagai ta'rif tersebut sebagai final adalah apa yang disampaikan oleh Sayyid Sabiq yaitu : Waqaf adalah menahan harta dan memberikan mamfaatnya dijalan Allah Swt.

Sebagaimana amal ibadah yang lain waqaf akan sah apabila telah memenuhi syarat-syarat dan rukunnya. Rukun dan syarat waqaf tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Adanya orang yang berwaqaf ( Waqif ). Dapat terdiri dari seorang atau lebih atau badan hokum. Seorang waqif harus mempunyai kecakapan penuh untuk bertindak hokum serta berbuat kebijaksanaan.
  2. Adanya harta yang diwaqafkan ( Mauquf ). Dapat berupa harta material yaitu harta kongkrit seperti tanah, kebun, deposito, giro, saham dan lain-lain atau berupa harta immaterial yakni berupa hak yang ada nilainya seperti hak merk, hak pakai, hak kekayaan intelektual dan lain-laian.
  3. Adanya penerima harta waqaf ( Mauquf Alaih ). Adalah sasaran waqaf dalam arti orang atau badan hokum yang dapat mengurus harta waqaf serta penggunaan mamfaat harta tersebut.
  4. Adanya perbuatan hokum ( Sighat Waqaf ) atau ijab qabul atau pernyataan waqaf. Dapat dilaksanakan dengan lisan maupun tulisan.

C. Deposito dalam Bank

Gerakan deposito khususnya deposito berjangka di Indonesia dimulai secara serentak pada tanggal 19 September 1968 berdasar instruksi Presiden RI. No. 28 tahun 1968 pada bank-bank pemerintah, sebagai usaha pemerintah untuk mengikutsertakan masyarakat dalam gerakan pembangunan. Pada mulanya adalah bank-bank pemerintah akan tetapi pada kesempatan berikutnya bank-bank swasta juga diikut sertakan dalam gerakan ini.

Deposito adalah simpanan dari pihak ketiga kepada bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangkla waktu tertentu menurut perjanjian pihak ketiga dan bank yang bersangkutan. ( UU. No. 14 th. 1967 tentang pokok-pokok perbankan.).

Deposito dapat dibedakan menjadi tiga yakni ; Time Deposit atau deposito berjangka yaitu simpanan milik pihak ketiga dalam bentuk rupiah yang penarikannya dilakukan setelah waktu tertentu menurut perjanjian antara deposan dengan pihak bank. Deposit call adalah simpanan deposito yang tetap berada di bank selama deposan tidak membutuhkannya. Deposit call ini dapat diambil oleh deposan dengan pemberitahuan jangka waktu sebelum pengambilan yang telah disepakati antara deposan dan pihak bank. Deposito Automatic Roll-over adalah deposito yang secara automatis harus diperhitungkan bunganya walaupun sudah jatuh tempo pengambilan. Umumnya deposan hanya melaksanakan deposito berjangka saja karena hal itu yang lebih dikenal mereka.

Intinya, menyimpan uang dalam bentuk deposito akan berimplikasi terhadap waktu pengambilan uang itu sesuai dengan waktu yang telah disetujui antara deposan dan pihak bank. Disinilah letak permasalahannya apabila uang waqaf didepositokan maka ia tidak bias diambil begitu saja pada saat dibutuhkan, artinya ia harus diendapkan dulu sampai masa waktu yang telah ditentukan.

Bertolak belakang dari keberadaan bank-bank yang beroperasi di Indonesia yang berasaskan konvensional atau system bunga, maka perlu diadakan kajian ulang mengenai bunga hasil deposito uang waqaf tersebut. Toh walaupun akhir-akhir ini marak berkembang bank dengan system syariah baik bank milik pemerintah atau bank swasta dikarenakan dasar pijakan operasinya masih konvensional dalam artian bank dengan system operasional murni seratus persen syariah masih dalam tahap pengembangan system.

D. Mungkinkah Waqaf di Depositokan

Dari ketiga devinisi deposito di atas jelas mensyaratkan adanya tenggang waktu tertentu untuk bisa mengambil uang simpanan deposan di bank. Sedangkan uang waqaf harus dipergunakan sesuai dengan apa yang untuknya diwaqafkan. Jadi pada dasarnya harus dapat dipergunakan sewaktu-waktu apabila dibutuhkan.

Namun sebagai akibat dari keberadaan suatu harta yang diwaqafkan, maka harus diusahakan oleh nadzir untuk selalu mengupayakan hal-hal yang dapat mendatangkan kebaikan harta waqaf, mengembangkan atau mewujudkan keuntungan bagi tujuan waqaf. Oleh karena itu tidak menuutup kemungkinan bagi seorang nadzir untuk menyimpan sebagian harta waqaf yang berupa uang dalam bentuk deposito.

Al-Nawawi menjelaskan dalam kitabnya bahwa apabila ada kelebihan suatu harta waqaf dari uang perawatan sebuah mesjid misalnya, nadzir boleh menggunakan uang itu untuk membeli sebidang tanah yang untuk selanjutnya diwaqafkan kembali pada mesjid tersebut. ( Al Majmu' Syarah Muhaddzab, XIV : 613, tt. ).

Imam Syihab al-Ramli mengatakan bahwa apabila ada seseorang mewaqafkan seekor kudanya untuk digunakan kendaraan perang, sedangkan kondisi kuda itu sudah tidak layak dibawa berperang maka nadzir boleh menual kuda tersebut. ( Ibid ).

Dari keterangan dua ulama' tersebut di atas, dapat diambil pengertian bahwa nadzir bertanggung jawab atas kelestarian mamfaat sebuah harta waqaf. Nadzir harus berusaha mencari jalan keluar apabila terdapat harta waqaf yang terancam rusakk atau musnah. Dan untuk mencapai tujuan waqaf tersebut tidak menutup kemungkinan bagi nadzir untuk mendepositokan harta waqaf itu, khususnya yang berupa uang yang bisa ditashorrufkan kepada mauquf alaih yang bersangkutan.

E. Akibat Hukum dari Deposito Uang Waqaf

Berbicara akibat hokum maka tidak diperbolehkan menetapkan suatu produk hokum hanya dengan mengedepankan kemungkinan-kemungkinan sebagaimana paparan kemungkinan mendepositokan uang waqaf di atas. Akan tetapi harus berpijak pada kaidah-kaidah hokum yang telah disepakati. Maka untuk hal itu diperjulkan penjelasan sebagai berikut :

Pertama, kaidah dalam hal muamalah adalah : "segala sesuatu diperbolehkan selama tidak ada dalil yang mengharamkannya ". dengan melihat kaidah ini ada kemungkinan uang waqaf didepositokan mengingat tidak ada nash sharih yang melarang hal itu. Karena seperti diketahui bahwa deposito di bak-bank konvensional adalah termask hal yang bersifat ijtihadi.

Kedua, dalam muamalah yang hrus diperhatikan adalah kemaslahatan bagi pihak-pihak yang terkait, selama tidak mencampur adukkan antara yang hak dengan yang bathil. Dengan ini sebenarnya hokum deposito uang waqaf itu hars dilihat dari persepsi/niat awal nadzir untuk apa ia depositokan uang waqaf itu dan mengapa harus didepositokan.

Ketiga, adalah kajian terakhir tentang keputusan bunga bank dan menyimpan uang di bank konvensional adalah :

1. Apabila seseorang menyimpan uang di bank hanya semata-mata untuk mendapatkan bunga dari simpanan itu, sedangkan ia bisa mentasharrufkan uang tersebut dalam usaha yang lain dan bisa mendatangkan laba/mamfaat maka hukumnya haram, karena ia mendukung system simpan pinjam yang diduga kuat/dzan mengandung unsure riba, sedang ia bisa untuk menghindarinya.

2. Apabila seseorang meminjam uang ke bank untuk maksud konsumtif maka hukumnya haram, karena ia telah menjerumuskan diri ke dalam pinjaman yang identik dena riba nasi'ah. Akan tetapi apabila ia meminjam uang ke bank untuk maksud prosuksi/ usaha riel dan tidak dimungkinkan dari pihak yang lain dan ia mampu mengembangkan usahanya tersebut maka diperbolehkan mengingat mamfaat yang mungkin didapat.

3. Apabila seseorang menyimpan uang di bank dengan maksud pengamanan, bukan semata untuk bunga dan apabila ditasharrufkan kepada hal yang lain dikuatirkan rugi atau bangkrut karena tidak cakap dan lain-lain, maka menyimpan uang di bank baginya adalah kewajiban dan langkah yang semestinya.

Dengan melihat dasar-dasar tersebut di atas, maka hokum mendepositokan uang waqaf harus ditafsil sebagai berikut :

1. Apabila uang waqaf yang didepositokan hanya dimaksudkan untuk mendatangkan bunga / keuntungan semata, sedangkan masih ada kemungkinan untuk ditasharrufkan pada sector yang lain, maka hukumnya , karena semata-mata mendukung system yang mengandung riba.

2. Apabila deposito uang waqaf tersebut dimaksudkan sebagai langkah-langakah pengamana sebelum uang itu dipergunakan-dan tidaka ada kemungkinan untuk mengembangkan mamfaat uang tersebut dalam sector rang lain- maka hukumnya boleh, mengingat tidak ada nash sharih yang melarang dan mengingat keamanan uang waqaf itu sendiri lebih-lebih apabila dalam jumlah yang besar misalnya.

3. Sedangkan bunga dari hasil deposito tersebut adalah halal mengingat bunga uang tersebut belum sampai pada taraf riba seperti yang diharamkan oleh islam saat ini sebelum ada system perbankan islam yang tidak mengandung riba.

F. Penutup.

Kebolehan mendepositokan uang waqaf hanya dilihat dari perspektif darurat saja, demi untuk menjamin keamanan dan pengembangan uang waqaf itu. Dan bunga yang didapat harus dipergunakan untuk kemamfaatan waqaf itu sendiri.

Kebolehan dengan dasar sedikit melihat analogi antara aqaad wadia'h dan qiradl dengan transasksi bank-bank konvensional saat ini, walaupun tidak terdapat kesamaan seratus persen diantara keduanya.

Apabila telah terdapat system perbankan yang sesuai dengan syari'at islam maka deposito uang waqaf harus pada bank-bank syar'ie tersebut.

Sebagai penutup tulisan ini perlu difikirkan bersama langkah-lankah apa saja yang harus ditempuh untuk menghindari keadaan-keadaan darurat bagi umat vislam dewasa ini terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan financial.

Petanya adalah mengupayakan perubahan kea rah islamicus ekonomicus dari system perekonomian yang menggurita saat ini, baik ekonomi liberal-nya barat, maupun ekonomi sosial-nya Negara-negara stallinis.

Hanya kepada Allah swt., kita berserah diri dengan terus berkarya dan berusaha di jalan yang diridloiNya untuk kejayaan islam dan muslimin.


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda